Jumat, 11 Maret 2011

Bukan Seorang Penulis, Hanya Menulis...

Pernah bermimpi dan menghayal tentang surga...
Diatas langit dan diatasnya lagi...
Pernah berpikir untuk membuktikan...
Dimana sebenarnya Tuhan duduk memandang umatNya...
Aku ingin mengukir di atas awan, merangkai diatas samudra, menari diatas pelangi...
Menjadikan semua orang sadar, bahwa Hidup itu Indah...
Meski tak selalu datar, hanya berliku dan terjal...
Entah apa yg merasukiku...
Aku senang merangkai kata, merajut naskah...
Mengumpulkan kata-kata bermakna yg takkan bisa berdiri sendiri" ,menjadi sebuah buku penuh didikan... Bagimu, untukku...
Menyaksikan penaku menari-nari di atas selembar kertas coklat tua yg terasa lebih kasar dari yang lainnya...
Jika aku bukan puitis, lalu apa?
Aku bukan sastrawan, lantas bagaimana?
Aku hanya menulis, bukan penulis...
Jika alam berkenan, aku akan mengalir bersamanya...
Kurasakan alurNya.. Kuikuti kisahNya...
Dalam anganku aku berucap, "Aku Ingin terus menulis. Lagi dan Lagi sampai keadaan melumpuhkan kedua tanganku, merenggut sepasang mataku, mematahkan kedua kakiku, membuatku membisu. Aku masih punya Hati untuk berkarya walau hanya itu yg kumiliki. Sebab aku bukan Penulis, hanya menulis... "

Cerpen : Luna, Cinderellaku

            Aku adalah seorang karyawan di salah satu perusahaan swasta bidang IT. Sejak kecil hidupku bisa dibilang berkecukupan. Tapi aku tak pernah berhenti mengeluh ini dan itu sampai suatu hari Tuhan menghadiahiku seorang guru kehidupan. Dialah Luna, adik perempuanku satu-satunya. Aku menyebutnya guru kehidupan, karena dari dialah aku belajar bagaimana Tuhan selalu tahu yang terbaik buat umatNya. Dia tidak memberi apa yang kita mau, tapi apa yang kita butuhkan. Semuanya itu bukan sekedar ungkapan atau kata bijak saja, karena lewat Luna segalanya terbukti.
            Luna terlahir dengan penuh kesempurnaan. Ia cantik, pintar, supel, dan disukai semua orang. Ia tidak pernah mengeluh apapun, mungkin juga karena dia tidak pernah mengalami kesulitan dalam hal apapun. Aku sering memanggil dia cinderella karena dia memang seperti putri Cinderella. Aku sungguh ingin sekali seperti dia. Indah rasanya menjadi seorang remaja yang punya banyak pengagum. kemanapun kami pergi dan di lingkungan keluarga, Luna tetap jadi primadona. Aku sungguh kagum pada adikku itu sekaligus iri padanya. Kadang-kadang aku juga membentak dia ketika setiap teman lelakiku yang aku suka justru jatuh hati padanya saat kuajak kerumah. Aku tahu, dia memang tak pernah berniat jahat padaku. Ia begitu tulus. Tapi tetap saja aku lumayan kesal padanya, namun aku tak pernah sekalipun terpikir bahwa sesuatu akan terjadi pada Luna di usianya yang masih sangat muda.
            Saat ia merayakan prom nite  sekolahnya di sebuah hall hotel berbintang di kota kami, ia berdandan minimalis tapi tetap saja seorang yang cantik akan tetap tampak mempesona apapun yang ia kenakan dan bagaimanapun dandanannya. Aku mengacungkan jempol padanya ketika dia berlari kecil kearahku dan berputar  sambil mengenakan gaun promnya. Ia benar-benar seperti putri Cinderella yang hendak menemui pangerannya. Luar biasa. Sebelum ia pergi menuju lokasi prom nite  bersama teman prianya, ia sempat mncium pipiku dan bilang kalau dia sangat sayang padaku. Ia bilang juga kalau aku itu cantik. Cukup terharu aku dibuatnya saat itu...
            “ Hmm… Cantik, seperti Cinderella…”
            “Terimakasih, kak.  Kak, aku berangkat dulu ya. Doakan aku supaya acaranya berjalan lancar.”
            “ Iya, pergilah segera. Nanti kamu terlambat.”
            “ Baik, kak. Tapi aku masih ingin disini bersamamu. Aku sayang padamu, kak.”
            “ Ah, dasar kamu. Cepat keluar, temanmu sudah menunggu sedari tadi. Jangan pulang larut malam ya. Jangan buat papa dan mama risau. “
            “ Ehm... Kakak, aku bangga padamu. Aku sayang padamu. Kakak cantik sekali. Aku pergi, kak. “
            “ Ya, semoga sukses. Kamu pasti terpilih jadi ratu prom. “
            Dia membalas ucapanku dengan senyumnya yang sangat indah. Dalam hati aku yakin kalau adikku adalah gadis tercantik yang ada di acara itu nantinya hingga dialah yang akan jadi calon tunggal untuk gelar ratu prom malam ini. Aku sama sekali tak pernah terpikirkan hal yang buruk. Mungkin karena akupun tahu kalau dia tak pantas untuk disumpahserapahi. Luna lalu masuk kedalam mobil yang menjemputnya, lalu ia dan teman lelakinya melambaikan tangan padaku. Aku tersenyum melihat mobil mereka melaju dan segera menutup pintu dan bergegas ke kamarku untuk belajar materi kuliah esok hari.
            Asyik sekali aku belajar sampai-sampai aku tak sadar kalau ternyata jam sudah menunjukkan pukul 11 malam dan Luna belum juga sampai. Padahal tadi aku sudah berpesan padanya untuk tidak pulang terlalu larut. Aku berlari kecil menuruni anak tangga menuju ruang tamu untuk menanyakan apakah Luna sudah menelepon untuk minta ijin pulang telat. Orangtuaku juga ternyata sudah mondar-mandir dengan wajah penuh kecemasan di ruang tamu. Aku berlari kecil menuruni anak tangga menuju ruang tamu untuk menanyakan apakah Luna sudah menelepon untuk minta ijin pulang telat. Mereka bilang kalau sedari tadi tak ada kabar apapun dari Luna. Aku langsung saja menaruh curiga pada teman yang menjemput adikku tadi. Tapi aku juga menyesal karena aku lupa menanyakan nama dan nomor handphonenya, hanya plat kendaraannya saja yang aku ingat. Aku lalu menunggu Luna di depan teras kami. Ada perasaan tak enak menyerang jantungku. Aku takut sesuatu yang tak baik menimpa adikku. Tapi aku terus berdoa agar Luna sampai dengan selamat nantinya.
            Dua jam menunggu, akhir sebuah sedan hitam persis mobil yang menjemput Luna tadi tiba di depan rumahku. Tapi kode plat nya berbeda dengan yang aku lihat tadi. tapi aku pikir mungkin saja tadi aku salah lihat atau malah lupa. Tapi, benar saja yang turun dari mobil itu bukan Luna ataupun temannya tadi. Seorang gadis muda yang aku yakin adalah teman satu sekolah Luna lalu dengan langkah gontai menuju ke arahku. Aku curiga akan apa yang hendak disampaikan gadis ini. Ada nada ketakutan dalam bicaranya...
            “ Ehm... Selamat malam, kak. Saya Dhita “
            “ Malam. Dimana Luna? Bukannya kalian ini teman Luna, ya?”
            “ Eh... iya, kak. Luna... Luna...”
            “ Luna kenapa? Apa yang terjadi, Dhita? Luna mana?”
            “ Luna... Luna... “
            “ Kenapa dengan Luna adikku?”
            “ Mobil mereka mengalami kecelakaan, kak. Luna dan Tony sekarang ada di ICU .”
            “ Apa?! Apa kamu bilang?! Anakku kecelakaan?! Ya, Tuhan... Kami harus segera kesana! “
            Aku terkejut. Terdengar suara ibuku yang begitu panik. Ayah yang memang begitu menyayangi kami, juga tampak begitu emosi. Untung saja Dhita itu perempuan. Andai saja dia lelaki, pasti ayah sudah menghajarnya tidak peduli kalau  ia hanya menyampaikan kabar saja.  Aku jadi semakin panik saja. Aku tak sabar ingin bertemu adikku. Langsung saja kami menuju ke alamat rumah sakit yang diberikan teman Luna tadi. Airmataku bercucuran, begitu juga dengan orangtuaku. Aku mulai berpikir yang macam-macam. Aku takut kalau adikku terluka parah. Kami harus benar-benar mendapati kenyataan yang menyakitkan. Adikku tidak lagi menjadi Cinderella yang cantik. Dokter bilang kalau kedua kaki adikku terpaksa diamputasi karena tertancap besi berkarat saat mobil mereka mengalami kecelakaan dahsyat pukul 9 malam tadi yang juga merenggut nyawa Tony, teman lelaki adikku. Ya, virus tetanus menyebar begitu cepat di kaki Luna, hingga ia tak mungkin lagi bisa mengenakan high heels aneka mode yang memang begitu pantas di kaki indahnya. Tapi aku kembali berurai airmata saat dia berkata...
            “ Kak, kenapa menangis? Bukankah Tuhan berhak mengambil apapun yang Ia inginkan kembali padaNya? Tak apa kalau aku harus kehilangan kedua kakiku daripada aku harus kehilangan papa, mama, dan kakakku yang cantik luar biasa. Aku masih bisa tersenyum, masih bisa melihat indahnya dunia, masih bisa membaca kisah-kisah cinta favoritku, dan satu lagi, aku masih punya cita-cita yang harus aku raih. Bukan begitu, kak?”
            “ Begitukah, Luna? Kamu benar-benar ikhlas? Lalu bagaimana dengan impianmu untuk mengenakan sepatu kaca di hari ulang tahunmu nanti? Kakak bahkan sudah menabung setiap hari untuk membelikannya buatmu. Luna, kakak sayang padamu.”
            “ Aku tahu, kak. Aku juga sayang padamu.”
            Aku melihat sebuah mahkota berlumuran darah tergeletak didekatnya. Kami lalu berpelukan dan dari depan pintu ruang ICU terdengar orangtuaku menjerit-jerit membentak dokter yang mengamputasi kaki Luna meski aku yakin kalau mereka sadar bahwa dokter sudah mengambil keputusan yang tepat untuk menyelamatkan nyawa Luna. Luna lalu diberikan sepasang kaki palsu dan cukup singkat waktu yang dibutuhkannya untuk bisa beradaptasi dengan kaki barunya.
            Setelah kejadian itu, kami pun terus menyemangati Luna, meski sesungguhnya kamilah yang harus disemangati. Kehidupan lalu berjalan seperti biasanya. Luna mengikuti home schooling atas keputusan ayahku. Tapi, ada satu kebiasaan baru Luna. Ia mulai menyukai dunia maya. Ia ikut bergabung dalam komunitas novelis muda. Ia mengirimkan karya-karyanya lalu akhirnya ia berkenalan dengan Judith, seorang pemuda baik hati yang ia kenal lewat komunitas itu juga. Setiap malam Luna bercerita padaku betapa Judith berhasil meraih hatinya. Ia begitu menyukai Judith. Setiap hari aku memergoki Luna yang asyik chatting dengan Judith. Semakin hari Luna semakin percaya diri. Dengan bantuan dorongan semangat dari Judith, akhirnya ia bisa menyelesaikan SMA-nya dengan nilai yang sangat memuaskan. Ia benar-benar tidak terlihat berbeban berat. Ia mulai senang bercermin dan tersenyum didepan cermin, mulai memintaku untuk membelikannya gaun-gaun manis yang sederhana khas seorang Luna, dan juga mulai sering mengigau menyebut nama Judith dalam tidurnya. Aku turut menikmati kebahagiaan itu. Cinderellaku sudah kembali meski tak lagi utuh...
            “ Kak, aku jatuh cinta pada Judith. Dia janji akan datang kerumah kita Sabtu ini. Boleh kan, kak? ”
            “ Kalau kakak sih boleh-boleh saja. Tapi, bagaimana dengan papa dan mama? Apa sudah kamu sampaikan pada mereka? “
            “ Sudah, kak. Papa yang lebih dulu setuju. Tapi papa bilang aku tetap harus berhati-hati.”
            “ Ehm... Luna... Apa Judith juga sudah tahu keadaanmu? Lalu apa katanya?”
            “ Tidak, dia belum tahu, kak. Tapi, dia benar-benar akan mengetahui keadaanku saat dia datang kemari nanti. “
            “ Lalu, apa kamu tidak cemas? Bagaimana jika dia...”
            “ Tidak, kak. Aku bisa merasakan betapa ia begitu tulus. Aku pernah juga ingin mengatakannya pada Judith, tapi katanya dia tak peduli bagaimanapun keadaanku. Ia yakin kalau akulah yang terbaik buatnya. Aku percaya padanya, kak. Dia lain daripada yang lain.”
            “ Baiklah jika kamu yakin. Aku hanya bisa mendoakanmu, sayang. Semoga memang dialah yang terbaik buatmu. Mari kita persiapkan dirimu, cantik.”
            Dia tersenyum manja padaku, mendekapku begitu erat dan hangat. Adikku, Cinderellaku. Begitu semangatnya ia ingin tampak mempesona. Meski memang pada dasarnya ia sudah mempesona bukan hanya karena kecantikan lahiriah saja, tapi juga hatinya yang seperti kristal itu. Hari-hari dilewatinya hingga tiba saat yang dinantikannya. Suatu sore, bel rumah kami berbunyi. Seorang pemuda dipersilahkan masuk oleh orangtuaku. Jelas sudah ia mencari Luna. Diatas kursi rodanya, Luna kuantarkan kehadapan Judith. Awalnya aku takut kalau-kalau Judith akan melukai hatinya. Tapi diluar dugaan, Judith tersenyum padanya. Ia lalu berjalan menuju Luna dan meraih tangannya. Ia sama sekali tidak kaget dengan keadaan Cinderellaku itu. Judith memang tampan setampan hatinya...
            “ Hai, Luna. Aku Judith. Kamu cantik sekali. Luar biasa. Terimakasih sudah menerimaku dirumahmu. Aku harap kamu juga bersedia menerimaku dihatimu. Karena akupun demikian.”
            “ Tapi aku... Aku... Aku cacat. Apa kamu bisa menerima aku yang seperti ini?”
            “ Bukan fisikmu, tapi hatimu. Kita sudah saling mengenal jauh sebelum hari ini dan kenyatannya aku lebih menyukai dirimu yang sesungguhnya. Sekarang aku ada dihadapanmu, katakan apakah kamu bersedia menerimaku? Bolehkah aku menjadi kedua kakimu untuk membawamu kemanapun yang kau mau?”
            “ Ya, kamu boleh. Bawalah hatiku bersamamu. Aku bersyukur karena Tuhan memberikanmu untukku. Hadiah terindah dalam hidupku.”
            Sungguh inilah pelajaran luar biasa yang ia berikan untukku. Hidup tanpa mengeluh dan selalu punya semangat. Karena akhirnya aku tahu kalau Tuhan selalu punya rancangan terbaik buat umatNya. Dan rancanganNya sungguh luar biasa untuk Luna, Cinderellaku...