Minggu, 19 Juni 2011

Kupu-Kupu Kertas... Valentineku yang Terindah...

            Benci itu benar-benar cinta. Sebagian orang mungkin membantah, tapi bagiku ini sungguh nyata. Bagaimana tidak, aku yang jelas-jelas sudah mengaggap dia sebagai musuh bebuyutan, benar-benar jatuh hati pada akhirnya. Dia benar-benar berhasil mengubah makna kata benci dalam hidupku. Dialah Radit teman sekelasku. Dia murid pindahan dari salah satu SMA unggulan di pulau Jawa karena mengikuti ayahnya yang dipindahtugaskan ke kota ini.
            Awal perkenalannya di depan kelas, Radit cukup membuat mataku sakit karena penampilannya yang super rapi dengan rambut diberi gel lalu disisir rapi seperti ayahku, sepatu van toffel, kaus kaki super putih, seragam yang disetrika dengan sangat rapi, lengkap dengan ransel kulit yang bergantung di bahunya yang bidang. Aku memanggilnya si Om Dandy. Cukup panas telinganya mendengar julukan dariku, tapi ia membalasku dengan julukan Putri Tidur karena kebiasaanku tidur pada jam pelajaran bahasa Mandarin yang notabene ada dalam penguasaannya. Kesal dan dendam, itulah yang tertanam dihati kami. Setiap kali bertemu, tak sekalipun kami saling lempar senyum. Yang ada hanyalah lidah yang terjulur lengkap dengan julukan kami masing-masing. Seisi kelas sudah paham bahwa kami tidak boleh bertemu dimanapun dan dalam keadaan apapun meski alam selalu saja mempertemukan kami.
            Cukup singkat bagi Radit untuk meraih simpati dari seisi kelas. Pribadinya yang ramah, pintar, dan bersahabat menjadi modal kuat untuk disukai oleh teman-teman kami, terutama para gadis. Dengan kelas sosialnya, teman-temannya pun sudah tentu adalah murid-murid terkenal di sekolah kami. Mulai dari bintang lapangan basket, juara debat se-Indonesia, anggota tim olimpiade sains, sampai pemain piano paling keren di klub orkestra. Diam-diam aku menyukai Willy, salah satu temannya. Setiap hari sepulang sekolah, aku menyempatkan diri untuk menonton Willy latihan basket di lapangan kami. Aku selalu jadi orang pertama yang bersorak tiap kali dia berhasil melakukan shoot. Willy mengetahui perasaanku padanya, tapi sama sekali tak merespon. Yang namanya suka, tak peduli apa dia membalas ataupun tidak, aku tetap ada untuknya.
            Rupanya kebiasaan dan perasaan istimewaku ini menarik perhatian Radit. Beberapa kali ia mengatakan padaku untuk tidak lagi menjadi fans  berat seorang William. Aku sama sekali tak menghiraukan itu, malah aku menganggap kalau itu hanya ejekan ringan darinya. Suatu ketika, aku tahu kalau ternyata Willy adalah seorang gay. Merinding aku membayangkannya. Pantas saja selama ini aku tak pernah melihat dia bergaul dengan gadis-gadis di sekolah kami, bahkan sekedar mengobrol pun tidak. Radit hanya tersenyum melihatku menangis sesunggukan karena patah hati.
            “ Dasar, Putri Tidur. Makanya jangan mimpi di siang bolong. “
            “ Biarin, memangnya apa urusanmu? Dasar, Om Dandy! Cepat pulang, nanti mama marah! ”
            Sejak saat itu, aku tak lagi menjadi pendukung setia Willy, ngeri aku setiap melihatnya cubit-cubitan dengan sesama pemain basket. Sungguh aku patah hati karenanya. Hanya beberapa minggu aku merana, hingga akhirnya aku bisa melupakan dia dan berganti dengan rasa anti yang begitu ketara. Aku pun akhirnya bisa menjalani hari-hariku dengan ceria lagi. Hingga suatu hari...
            “ Hey, Putri Tidur! Kamu apakan ban mobilku? Apa kurang kamu menyebutku Om Dandy?! “
            “ Hey! Jangan sembarangan menuduh ya. Siapa yang berani mengusik mobilmu itu? Disini mana ada yang berani menjahilimu. Papamu 'kan orang penting. “
            “ Tapi kenyatannya, hanya kamu yang berani mengatai aku. Sudah pasti kalau kamu pelakunya. Dasar gadis ndeso, nggak  tau ya kalau uang jajanmu setahun juga nggak  bakalan bisa ganti ban mobilku. “
            “ Diam kamu! Sombong sekali seorang Radit, hingga sanggup menuduh orang lain sesuka hatinya. Aku memang seorang yang hidup sederhana, tapi aku masih punya moral dan etika untuk menghargai orang lain meskipun orang itu adalah kamu! Sekarang pergilah dari hadapanku sebelum nantinya gigimu hanya tersisa dua. Aku benci kamu! “
            “ Benci itu benar-benar cinta, loh! Hahaha... “
            Dia meninggalkanku dengan wajah yang merah seperti kepiting rebus. Aku puas bisa membentaknya dan sedikit memberinya pelajaran etika. Hatiku sakit, aku bertekad tidak akan pernah berdamai dengannya apapun yang terjadi. Tapi, dia bilang benci itu benar-benar cinta. Persetan dengan ucapannya, aku benar-benar dendam padanya.
            Sejak kejadian itu, aku tak lagi ketiduran setiap mata pelajaran bahasa Mandarin berlangsung. Aku menganggap kalau Radit harus bisa aku kalahkan, terutama dalam pelajaran yang satu ini. Entah dia memperhatikan atau tidak, jelas aku sudah tak layak lagi untuk dijuluki Putri Tidur. Tapi, dia tetaplah Om Dandy bagiku. Dari unjung rambut hingga ujung kaki semua atribut sekolah ia kenakan tak terkecuali. Aku mulai malas untuk bicara, aku terus saja diam di kelas. Meski sesekali teman-temanku menegur dan menyapaku, aku hanya membalas dengan senyuman. Aku menjadi kutu buku dan tak lagi update soal mode fashion terbaru, buku best seller terbaru, majalah terbaru, dan lainnnya khas gadis remaja.
            Sudah menjadi kebiasaan baruku untuk minum teh di teras kamar setiap sore untuk menggantikan kebiasaan lamaku menonton Willy latihan basket. Aku menikmati pemandangan pekarangan rumah kami yang asri. Tiba-tiba mataku tertambat pada meja belajarku. Seekor kupu-kupu kertas dengan sayap warna-warni bertengger indah di atas bunga segar yang dirangkai ibu setiap pagi dikamarku. Aku mengambilnya lalu tanpa sengaja melihat rangkaian kata indah dibalik sayapnya...
            “ Inilah kepingan hatiku yang pertama, aku titipkan padamu untuk kamu satukan menjadi utuh lagi...”
            Indah dan romantis sekali sampai-sampai aku tak sabar untuk mengetahui siapa pengirimnya. Aku berlari menuruni tangga menuju ruang tamu untuk menanyakannnya pada ibu. Ibu hanya tersenyum dan bilang bahwa si pengirim berpesan saat Valentine tiba, aku pasti tahu siapa orangnya. Aku tersenyum menyadari kalau ternyata aku punya seorang secret admirer. Hari-hari kujalani dengan penuh sukacita. Setiap sore aku selalu tersenyum karena lagi-lagi seekor kupu-kupu kertas dengan sayap warna-warni bertengger di meja belajarku.
            “ Ini kepingan hatiku yang kedua, maafkan aku jika aku keliru...”
            Aku selalu menduga-duga siapa orangnya, tapi tak pernah kutemukan jawabnya. Aku satukan setiap hari satu persatu di dalam sebuah keranjang berbentuk hati yang aku beli khusus untuk menyatukan kupu-kupu itu. Setiap malam selesai belajar, aku pandangi mereka lalu aku tidur dengan nyenyak.
            Hasil ulangan Bahasa Mandarin dibagikan dan aku meraih peringkat kedua, tentu saja setelah Radit. Tapi bagiku dan seisi kelas, ini adalah mujizat. Selama ini aku selalu ada di urutan kedua memang, tapi dari belakang. Tak kusangka juga, Radit menyelamatiku dan akhirnya mengakui kemampuanku. Dia tersenyum padaku dan kenyatannya sikap Radit semakin hari semakin ramah. Aku sedikit takjub setan apa yang merasukinya, tapi kunikmati saja sambil terus menerka-nerka siapa pemuda yang begitu kreatif dan romantis itu. Meskipun begitu, aku tak lantas memaafkan Radit lalu berbaikan dengannya. Kata-katanya beberapa waktu lampau, terlalu kejam untuk dimaafkan. Aku pulang kerumah dengan perasaan bangga dan aku tunjukkan hasil ulanganku pada ibu. Kuceritakan betapa bangganya aku berhasil membuktikan pada si Om Dandy, bahwa aku memang gadis yang handal. Ibu hanya tersenyum dan bilang kalau aku tak boleh cepat puas, aku harus terus belajar dan kalau bisa meraih peringkat satu bukan hanya dalam pelajaran ini tapi seluruh mata pelajaran. Aku memeluk ibu dan mencium pipinya lalu bergegas lari ke kamar untuk melihat kupu-kupu ketiga di atas meja belajarku.
            “ Ini kepingan hatiku yang ketiga, aku bangga padamu...”
            Ada apa ini? Sepertinya dia begitu memperhatikanku. Seolah dia selalu ada bersamaku, bahkan dia tahu kalau aku berhasil mengalahkan kemalasanku. Sungguh ini membuatku curiga. Siapakah dia? Apa dia Willy? Tapi tidak  mungkin kalau itu dia. Lalu siapa? Ah, aku harus tahu siapa dia.
            Hari demi hari selalu begitu setiap sore. Kupu-kupu keempat, kelima, keenam, ketujuh, dan seterusnya yang membuatku merasa kagum, apa si pemuda tak takut kehabisan kata-kata? Tapi, apa urusanku? Yang jelas ini membuatku jatuh cinta padanya tanpa tahu sosoknya, siapa dia, dimana ia berada sekarang, bagaimana pribadinya, dan segalanya tentang dia. Aku mulai sering melamun di kantin. teman-temanku menggoda setiap kali memergokiku melamun sendirian di kantin. Aku yang tersadar langsung ambil langkah seribu, berusaha menutupi wajahku yang kemerahan karena menahan malu. Tapi itu bukan masalah, aku bahagia. Apalagi besok adalah hari Valentine, hari yang paling kutunggu karena pada hari itulah secret admirer  ku akan menunjukkan jati dirinya.
            Kebahagiaanku semakin terasa hari demi hari hingga suatu saat sepulang sekolah, aku melewati kelas yang selalu digunakan untuk kegiatan ekstrakurikuler Origami. Mereka sedang mempersiapkan perayaan Valentine di sekolah kami, besok. Dari pintu yang terbuka lebar aku memandang sekeliling kelas. Kelas itu dipenuhi dengan hiasan kupu-kupu kertas warna-warni yang persis seperti yang ada di meja belajarku setiap sore. Aku jadi yakin kalau pemuda itu pasti ada disini. Aku lantas melayangkan padanganku kepada sekelompok siswa dan pembimbingnya yang sedang melipat kertas bersama.
            “ Ya, Tuhan. Itu Radit! Apa selama ini dia yang mengirimiku kupu-kupu itu? Lalu kenapa harus dia? Apa maksudnya? Tuhan, apa benar aku telah jatuh hati padanya? “
            Kami saling beradu pandang. Radit tersenyum padaku. Aku benar-benar pertama kalinya menyaksikan sosok yang begitu rupawan sedang memandang ke arahku. Tapi, aku benci dan tetap benci. Aku berlari dan segera pulang lalu bergegas menuju kamarku untuk melihat kupu-kupu kertas terakhir. Dari depan pintu aku melihat seekor kupu-kupu, tapi bukan lagi hanya sebuah kertas. Seekor kupu-kupu dari bulu angsa dirangkai dengan seutas kawat lunak, dan dipersembahkan padaku dalam wujud cincin mungil yang begitu indah. Kali ini tak ada lagi untaian kata dibalik sayapnya. Sepucuk surat warna biru langit tertindih  lembut dibawahnya...
            “ Ini adalah kepingan hatiku yang ke – 100. Kepingan hatiku yang terakhir. Aku ingin kamu menjadikannya satu di dalam hatimu. Jika kamu percaya bahwa aku mengagumimu sejak awal kita bertemu, aku begitu yakin kalau kamu adalah yang terbaik untukku. Maafkan aku karena sempat melukaimu, tapi itu hanyalah kekeliruanku. Aku tahu, kamu tak setega itu untuk mengerjaiku. Aku sudah mengetahui siapa orangnya dan dia adalah Rhea, sahabatmu yang sejak awal tak suka kalau kita berdamai karena dia menyukaiku. Terimakasih telah mengajariku untuk menghargai orang lain dan menjadi pribadi yang rendah hati. Bolehkah aku meminta kepingan hatimu untukku. Jika kamu tak mengijinkannya, biarlah hatiku tetap tinggal untukmu... Radit...“
            Aku terharu, tersayat, dan terhanyut sekaligus. Aku memang membenci perkataannya, tapi bukan dirinya. Aku harus mengakui kalau akupun menyukainya. Setelah merenung semalaman, akhirnya aku meletakkan kupu-kupu yang ke-100 di tengah-tengah kerumunan kupu-kupu kertas yang selama ini kurangkai indah dalam keranjang hati itu. Esok harinya di kelas, tepat di hari Valentine, sebelum semua orang melihat, aku letakkan keranjang itu diatas meja Radit. Radit tiba dan tersenyum dengan apa yang dilihatnya, lalu ia membaca kartu ucapan yang aku selipkan di sana...
            “ Aku bahagia. Ketulusanmu lebih besar dari kelirumu. Terimakasih untuk sembilan puluh sembilan kepingan hatimu. Ini aku kembalikan hatimu yang telah kuuntai dalam keutuhan hatiku. Maafkan juga aku karena terlalu membencimu hingga aku benar-benar mencintaimu. Aku ambil satu keping hatimu untuk kujadikan penjaga hatiku. Happy Valentine, Rossa...”
            Dia memalingkan wajah untuk memandangku sambil tersenyum tulus dan aku membalas senyumannya sambil melambaikan jemariku untuknya dengan seekor kupu-kupu  warna-warni bertengger manja di jari manisku...

1 komentar: