Minggu, 19 Juni 2011

Malaikat Cinta Tanpa Sayap


Malaikat Cinta Tanpa Sayap
Janjinya yang pertama...
" Aku butuh bantuanmu. "
Suara itu terdengar dari seberang sana.. wajah mempesonanya terpampang sepenuh layar laptop dengan latar belakang pemandangan langit Eropa yg sungguh membuatku terpaku.
" Kamu sudah sampai?Hmm.. boleh, kalau permintaanmu tidak melampaui batas kesanggupanku", jawabku..
Lama kami terdiam.. Aku mulai cemas akan apa yg ingin dikatakannya padaku..
" Iya, aku baru saja sampai.. "
" Oh, syukurlah kamu sampai dengan selamat, “ sambungku..
Lama kami terdiam satu sama lain, meskipun aku tahu, banyak hal yg ingin kami sampaikan saat itu juga..
" Kamu percaya padaku", lanjutnya lirih..
Aku terpaku.. untuk sepersekian detik detak jantungku berhenti..
" Iya, tentu saja.. Sebab belum sekalipun kamu mengecewakanku", jawabku..
" Tapi, aku takut kalau aku akan mengecewakanmu kelak", ucapnya..
Aku tak tahu apa yg harus kukatakan lagi padanya..
" Heyy, itu Sorbone kan? Universitas impianku.. Kamu sudah mendaftarkan diri untuk kuliah disana? Wow! Hebat..", sambungku mencairkan suasana yang sebenarnya tetap terasa beku..
Dia hanya tersenyum, mungkin juga mengingat janji kami dulu sebelum dia berangkat untuk pekerjaannya dan meraih cita"nya disana..Dalam sekian menit kami saling bertatap, aku mulai bingung dengan semua yang berkecamuk dalam pikiranku sendiri.. Aku galau, terhimpit semua kenangan masa lalu..
" Aku baru saja menepati janjiku yg pertama.. Namamu sudah ku ukir indah di Pohon Impian..", suaranya terdengar lembut


Perkenalanku dengan Jordan…
Aku tak menyangka. Dia, pria ini, sedang berada dihadapanku, berkata bahwa ia telah menepati janjinya yang pertama.
Seketika itu juga otakku terprogram seperti dvd player yang berjalan mundur.
Pria ini, aku menyebutnya pria karena dia tak suka disebut cowok atau apapun sejenisnya. Katanya dia sudah dewasa. Yang kukenal tepat 3,5 tahun yang lalu. Aku mengenal dia dari Ivana, sahabat kami. Ivana memperkenalkanku dengan Jordan. Ah..., aku hampir lupa memberitahu namanya. Dan sewaktu kami duduk di bangku SMA, katanya dia punya sahabat yang menurutnya sedang butuh teman curhat. Vana tahu betul kalau aku adalah seorang tempat curhat yg paling baik.
Tanpa pikir panjang, aku langsung mengiyakan untuk diperkenalkan dengan Jordan.
Segera setelah aku menyetujuinya, seorang pria blasteran mengajukan permintaan pertemanannya di jejaring sosialku.
Malam harinya...
" Heyy, selamat malam. Apa kabar?" tulisan ini muncul di chat box ku.
Aku terperanjat..
" Hai juga. Ehm, kamu Jordan kan? Aku Yoana, kamu boleh memanggilku Yona. :') "
" Haha.. Iya, aku tahu. Vana sudah memberitahuku tadi siang. Ehm, kamu sedang apa? Apa aku menggangu? " ujarnya.
" Oh, tentu saja tidak. Aku sedang membalas email dari teman-temanku. Aku senang kok chatting denganmu. Oh, ya. Kamu masih SMA atau sudah kuliah?"
" Seharusnya aku kuliah tahun ini. Tapi, ayah memintaku untuk meneruskan bisnis keluarga kami. Kamu mau tahu rahasiaku? :') "
" Oh, begitu ya. Ehm.. Kamu punya rahasia? Apa itu?", aku tidak sabar.
" Tahun ini, usiaku 22 tahun."
" Oh, begitu ya?"
" Kamu tidak terkejut? Kamu masih mau berteman denganku?"
" Loh, memangnya kenapa kalau usiamu 22 tahun? Itu bukan alasan untukku tidak berteman denganmu. Aku juga punya rahasia. Kamu mau tahu?"
" Tentu saja aku mau tahu. Apa itu?"
" Ehm.. Ehm.. Sebenarnya pada awalnya aku memang sudah melihat mu di friend suggest ku, tapi maaf ya, saat itu aku sama sekali tidak tertarik padamu.
NB: jangan marah ya.. Haha.."
Lama sekali ia membalasnya. Aku sempat berpikir, kalau dia marah padaku. jantungku berdetak kencang, apa yang akan dikatakannya?
Sekitar 20 detik dia offline, cukup membuatku merasa tak enak hati. Tapi, kemudian...
" Hahaha..! Ternyata kamu lucu sekali ya. Selama ini aku mengira, dengan tampang blasteranku dan segala yang kumiliki ini, gadis mana yg tak tertarik padaku? Hari ini anggapanku itu berhasil kamu patahkan."
Aku yg tadinya begitu takut kalau-kalau dia tersinggung, serta-merta aku pun terbahak.
" Hahahaha.. Ternyata kamu tidak marah ya, Dan? Tadinya aku pikir kamu marah. Kenapa td off? Kamu cukup berhasil membuatku ketakutan. Haha.. Tapi, lucu juga. Kamu punya rasa percaya diri yang cukup tinggi ya! Salut deh! :') "
" Hahaha.. oh, iya. Kamu benar-benar tidak tertarik dengan yang blasteran ya?"
Aku terperanjat dengan pertanyaan itu. Bukannya tadi Vana hanya memintaku menjadi teman curhat saja? Kenapa jadi begini?
Aku mulai terjerumus dalam pikiran-pikiran lugu khas anak remaja.
Sadar dari pikiran-pikiran anehku, akupun kemudian pamit untuk off. Ini masih permulaan, aku tak ingin terlalu jauh.
" Jordan, aku ngantuk nih. Kapan-kapan kita sambung lagi ya? hehe... Bye, God Bless You."
" Oh, of course. kamu sudah ngantuk ya? Baiklah, selamat malam. :') "
Sepanjang malam aku tak habis pikir, bagaimana mungkin aku bisa berada dalam keadaan ini? Sungguh aku sendiri bingung, meski aku sadar kalau akulah yang dengan sukarela terjun ke dalam keadaan ini. Akupun segera mengambil Novel favoritku yang terlihat sangat usang karena terlalu sering dibaca sebagai pengantar tidurku.
Pagi ini, seperti biasanya aku bangun pagi-pagi sekali untuk membantu mama beres-beres rumah sebelum bersiap-siap berangkat ke sekolah. Aku pikir setelah tidur semalaman, aku bisa melupakan kejadian semalam. Tapi, justru kejadian kemarin lagi yang muncul di pikiranku sambil mengerjakan pekerjaan rumah ini.
" Ah...! Ada apa denganku? Apa yang terus aku pikirkan? Baiklah, nanti aku akan menanyakannya  pada Vana."


Dia mengajakku jalan…
Dari jarak 10 meter aku sudah mendengar lonceng masuk berbunyi. Hal yang menjadi kebiasaanku adalah telat, meski jarak rumahku dengan sekolah sangat dekat, dan aku dibekali sebuah sepeda motor oleh orangtua ku. Karena itulah aku lebih memilih untuk berlomba dengan waktu dan mengemudi dengan kecepatan 80 kilometer/jam, daripada harus berangkat 1 jam lebih awal agar tidak terlambat.Tapi,keberuntungan selalu berpihak padaku. Aku selalu jadi orang terakhir yang diijinkan masuk melewati pagar tinggi sekolahku,dimana mereka yang sampai di depan gerbang itu setelah aku tidak lagi diijinkan masuk kelas alias dihukum!
Mereka yang terkena hukuman karena berhasil "dikalahkan" oleh waktu, lalu memandangku dengan sinis. Mengerikan jugamengingat kejadian setiap pagi itu.
Dengan terengah-engah, aku berlari kecil menuju kelas. Lewat jendela kaca di kelas kami, dari luar terlihat sosok yang begitu aku hormati berdiri didepan kelas. Ya, dialah wali kelas kami. Guru mata pelajaran Akuntansi yang jadi favorit siswa-siswi nya. Aku kemudian mengetuk pintu, lalu bergegas menuju meja belajarku dan mengeluarkan buku-buku pelajaranku. Topik pelajaran kali ini begitu menarik, hingga tak sedetikpun aku menguap.
Lonceng istirahat berbunyi, kami pun berhamburankeluar kelas dan menuju ke tempat nongkrong favorit masing-masing. Aku yang sejak tadi pagi memang berniat untuk menceritakan tentang kejadian semalam pada sahabatku Vana, lantas menolak ajakan teman-teman sekelasku untuk makan mi goreng pedas kesukaan kami. Lalu aku berlari kecil menuju kelas sahabatku, kebetulan aku dan dia berbeda jurusan. Ivana memilih jurusan Sains dan aku memilih terjun dalam dunia Social.
Ternyata sedari tadi Vana telah menungguku di teras kelasnya. Dengan senyumnya yang khas, dia menyambutku.
" Hey, Yona! Bagaimana dengan Jordan? Apakah dia mengganggumu? Kulihat wajahmu sedikit gelisah. Dia tidak melakukan hal yang kelewat batas kan?"
" Ehm... Enggak kok, Van. Dia baik. Kemarin kami chatting, lho. Ternyata dia narsis juga ya?"
" Iya, dia memang begitu. Mungkin karena dia punya segalanya. Tapi, dia baik kok. Oh iya, dia bilang apa semalam? Kamu menyukainya?"
" Hahaha... Mungkin juga ya. Oh, kemarin kami hanya berkenalan. Aku masih membatasi diri, tidak ingin terlalu jauh dulu. Tapi..."
" Tapi apa, Na?"
" Eeeee... Entahlah, mungkin ini hanya perasaanku saja. Mungkin aku hanya berlebihan saja."
" Perasaan bagaimana? Cerita dong sama aku. Aku merasa tak enak hati kalau kamu jadi begini."
" Baiklah kalau kamu memang mau tahu. Tapi, jangan tertawakan aku ya... Sebenarnya ada pertanyaannya kemarin yang membuatku gelisah. Dia bertanya apa aku benar-benar tidak tertarik pada cowok blasteran?Vana, apa sebenarnya yang terjadi? Bukannya aku hanya menjadi teman curhatnya? Kenapa jadi begini?"
" Iya, ya. Kenapa jadi begini?", tampang Vana mulai terlihat gelisah sepertiku juga.
" Lho, kenapa kita jadi memikirkan ini ya? Sudahlah,waktu istirahat tinggal 10 menit lagi. Cukup untuk sarapan sebentar."
" Oke,let's go!"
Sesampainya kami di kantin utama, tidak perlu membuang banyak waktu untuk memesan menu favorit kami. Si mbak yang sudah begitu akrabnya dengan kami, langsung meyiapkan dua porsi mie goreng ekstra pedas yang efeknya jika dimakan akan menimbulkan air mata yang sulit untuk dihentikan...
" Tumben nih, dik... Kenapa hari ini kalian agak telat makannya? Tidak takut terlambat masuk jam pelajaran selanjutnya ya? Bel istirahat kan hampir berakhir?"
" Ah, iya kak. Kami tadi ada urusan sebentar, jadi agak telat kesini ," sela Vana
" Oh, begitu ya? Terus, dik Yhona kenapa? Tampangnya kok bete? Baru putus ya?"
Aku yang tersentak dengan pertanyaan si mbak, serta merta membantahnya.
"Ah...! masa sih, mbak? Kelihatan begitu ya? Hahaha... Jangankan putus, pacar saja saya belum punya."
"Hahaha... Kalau begitu, selamat menikmati makanannya ya, dik. Ingat, makanannya jangan ada yang bersisa, ya. Nanti Tuhan marah lho... Permisi."
Kami pun mulai menyantap mie yang sedari tadi aromanya menggelitik lambung kami. Selesai sarapan, kami bergegas berlari marathon menuju kelas masing-masing, sebab bel masuk telah terdengar sejak 5menit yang lalu...
Di kelas sedang berlangsung mata pelajaran Matematika. Mengetahui aku telat, Pak Imran tidak menghukumku. Aku begitu sadar mengapa beliau berlaku demikian. Aku yang tak seberapa ini, adalah siswi kesayangan beliau. Mungkin karena nilai matematikaku yang selalu ada di urutan 1 di kelas. Jam pelajaran berlangsung dengan tertib. Hari ini ilmu matematikaku bertambah lagi. Aku senang dan sedikit bisa melupakan kejadian kemarin.
Malam harinya, aku kembali membuka jejaring sosialku untuk sekedar melihat-lihat perkembangan dan kegiatan apa saja yang dilakukan teman-temanku. Dan lagi-lagi...
"Hey, girl. How are you? Masih ingat aku kan? :)"
"Oh, heyy boy! I'm fine. Ehm, tumben ya kita bisa ngobrol lagi malam ini. Kamu sedang free?"
"I'm sorry, please don't called me boy. I'm not a boy, I'm a man now. 22’nd years old. "
" Ups, maaf... Aku tidak bermaksud begitu. :'("
Sedikit vacum, dan...
"No problem. Aku nggak marah kok. Oh iya, bagaimana harimu? Ada masalah kah? Aku dengar dari Vana, kamu merasa tidak nyaman denganku. Apa aku mengganggumu? Aku mohon maafkan aku, aku tidak bermaksud begitu. Aku janji tidak akan mengganggumu lagi. Maafkan aku."
"Ah, tidak kok. Kamu sama sekali tidak menggangguku. Kenapa kamu berkata begitu. Aku senang kok berteman denganmu. Aku yakin kamu punya alasan kenapa bertanya hal yang kemarin itu. Mungkin aku saja yang mengartikannya terlalu jauh. Maaf karena membuatmu merasa tidak enak hati. :)"
Tidak ada balasan. Dan saat ini keadaan berbalik. Aku justru merasa telah menyinggung perasaannya. Aku langsung saja mengiriminya pesan lewat Inbox nya.
"Halo, selamat malam. Aku tahu kamu merasa tidak enak padaku. Mungkin reaksiku berlebihan. Maafkan aku, teman. Aku hanya remaja 16 tahun yang masih berpikiran kanak-kanak. Aku yakin kamu punya maksud baik. Kamu hanya ingin akrab denganku. Terimakasih, aku harap kita tetap berteman. Bersahabat, mungkin. Nyaman sekali rasanya saat aku berbincang denganmu, seperti aku berbicara pada saudaraku. Senang bisa mengenalmu, bicara denganmu, dan melewatkan beberapa menit dengan santai bersamamu. Jangan marah ya. Sekarang giliranku yang merasa tak enak hati padamu. Sekali lagi maaf. Good night, God Bless you..."
Itu mungkin inbox pertama dan terakhir yang aku kirimkan pada Jordan yang tidak pernah ada balasannya, hingga seminggu kemudian Ivana berlari tergesa-gesa menemuiku di kelas... 
"Yona...! Sedari tadi aku mencarimu. Aku kira kamu sedang di perpustakaan. Ada pesan penting dari Jordan untukmu. Lusa dia akan berangkat ke Australia. Ayahnya ingin dia menangani cabang perusahaan keluarga yang baru saja diresmikan disana. Aku sendiri terkejut mendengarnya."
"Oh, ya? Lalu, apa pesan pentingnya?"
"Ehm... Dia ingin jalan denganmu malam ini. Dia khawatir kalau-kalau dia tidak akan kembali lagi ke Indonesia. Dia ingin sekali bertemu dan bicara langsung denganmu. Bagaimana, Yona?"
"Apa...! Malam ini? Ya, ampun. Aku belum siap. Terlebih kejadian terakhir seminggu yang lalu."
"Jangan khawatir, Yona. Dia tidak tersinggung kok. Dia juga pria yang sederhana. Jadi, kamu cukup tampil apa adanya. Bukannya kamu itu orangnya cuek sekali? Kumohon, Yona. Dia memintaku untuk membujukmu. Dia benar-benar ingin bertemu denganmu. Dia janji tidak akan bertanya ataupun membicarakan yang aneh-aneh denganmu. Mau, ya... Please..."
"Eee... Bagaimana ya? Baiklah. Tapi ini karena kamu yang memintanya padaku, ya. Lalu jam berapa dan dimana kami bertemu malam ini?"
"Jordan bilang, dia sendiri yang akan menjemputmu ke rumahmu. Kamu tuliskan alamat yang jelas di kertas ini, ya. Nanti aku akan sampaikan padanya. Tunggu dia tepat pukul 7 malam nanti. Oh iya, aku hampir lupa kalau Jordan itu tipe manusia yang selalu on time, loh. Jangan buat dia menunggu terlalu lama, ya. " 
"Oh, oke. Aku akan menunggunya di depan rumah sebelum pukul 7 malam nanti. Baiklah, lonceng sudah berbunyi. Kamu segera kembali ke kelas, ya. Pelajaran Kimia, kan? Nanti Pak Lim marah, loh..."
"Iya, aku pergi sekarang. Semoga malam ini berjalan lancar ya. Bye...!"

Makan malam istimewa…
Malam harinya, 10 menit sebelum pukul 7 malam aku sudah menunggu kedatangan Jordan dengan perasaan campur aduk yang aku sendiri sulit mengungkapkannya. Lalu aku melihat sebuah Jaguar berwarna hitam berkilau berhenti tepat di depan rumahku. Aku pikir mobil itu hendak berputar arah. Aku sama sekali tak mengira siapa yang mengemudikannya, hingga klakson dibunyikan tiga kali...
"Ya, Tuhan. Apa itu Jordan? Tuhan, tolong aku. Jantungku berdebar kencang, Tuhan. Semoga malam ini berjalan lancar dan tidak terjadi kesalahpahaman lagi, Tuhan. Kumohon, Amin. "
Dengan kaki yang sedikit gemetar, aku lantas berjalan menuju pintu gerbang dan membukanya perlahan. Entah pikiran apalagi yang berserakan di otakku yang saat itu terasa lebih besar dari kepalaku. Aku lalu membuka pintu belakang mobil mewah itu. Sebelum aku sempat duduk di jok belakang, Jordan kemudian menegurku...
"Hey, kenapa duduk dibelakang? Ayo duduk di depan, disampingku. Aku tidak punya penyakit menular kok. Hahaha..."
Jordan lantas membukakan pintu untukku. Aku yang jelas-jelas terlihat amat sangat kikuk saat itu berusaha bersikap santai. Entah kenapa ke"cuek"an ke"gokil'an ku punah begitu saja dalam beberapa menit. Aku sedikit salah tingkah entah dia merasakannya atau tidak. Aku tidak peduli. Sambil memperbaiki posisi duduk, aku mulai mencoba mencairkan suasana.
"Oke, baiklah. Terima kasih, Jordan. Maaf, tadi aku pikir ada seseorang yang duduk disampingmu."
Jordan kemudian mencondongkan wajah dan tubuhnya kearahku. Aku terperanjat. Aku pikir dia hendak melakukan apa yang selama ini kupikirkan dalam otak kanak-kanak ku ini. Ternyata dia hendak memakaikan seatbelt ku. Maklum saja, aku adalah gadis tomboi  badung yang selalu berbuat sesuka hati yang tak jarang berakibat yang aneh-aneh bagiku. Sekian detik kejadian itu, jantungku semakin berdebar kencang. Bukan karena apa, tetapi saat itu juga aku benar-benar disajikan wajah yang tampan, begitu rupawan, mempesona, hingga aku sama sekali mematung. Matanya berwarna hijau terang meskipun suasana saat itu sedikit gelap karena hari sudah malam, bibirnya merah seperti memakai lipstick, rambutnya lurus kecoklatan bergaya ABRI, hidungnya yang termasuk dalam jenis hidung idamanku, tajam seperti pisau, dan kulitnya lembut sekali seperti bayi. Aku tak pernah berpikir mengapa kulitnya bisa bersentuhan dengan kulitku. Yang jelas saat itu tak pernah bisa aku lupakan hingga detik ini pun. Dia wangi sekali, menurutku dia pasti memakai parfum Clive Christian's No. 1 yang sekali semprot pasti tercium aromanya dari jarak 10 meter. Segenap pesona itu dibalut dengan kemeja Valino motif petak-petak berwarna biru tua yang adalah warna favoritku, dipadukan dengan celana bahan yang menurutku terbuat dari kain wol karena aku sudah terbiasa menyetrika pakaian kerja ayahku. Dengan postur atletis, dialah gambaran seorang eksekutif muda idaman setiap gadis.
Lalu aku memperhatikan diriku. Gadis yang kurus berkulit agak gelap hasil mengemudi motor di siang bolong tanpa jaket apalagi sunblock. Kostumku yang sangat sederhana, hanya gaun biru tua polos di atas lutut yang tanpa lengan, dengan gaya V-neck yang membuatku sedikit canggung dan kaku karena aku tak terbiasa memakai gaun model itu didepan seorang pria 22 tahun. Rambutku juga hanya disanggul mini berhiaskan jepitan kupu-kupu perak, seperti kesukaanku tanpa sedikit pun dibantu oleh orang lain. Aku merias diriku sendiri dengan sangat sederhana. Aku bahkan hanya menyemprotkan Versace biasa, yang mungkin saja meskipun aku memakai hampir satu botol tetap tidak tercium aromanya dari jarak 2 meter sekalipun. Ditambah lagi aku memakai kacamata minus yang sedikit mengganggu penampilan biasa ku ini.Sungguh berbanding terbalik dengan pria yang bersamaku saat ini. Tanpa banyak buang waktu, Jordan langsung menghidupkan mesin mobilnya dan kami pun melaju lumayan kencang menuju ke tempat yang sama sekali belum aku ketahui. Aku seperti terbius olehnya.
"Wah, kamu cantik sekali. Lebih cantik dari yang kubayangkan selama ini, meskipun kita hanya berbincang lewat internet. Keibuan sekali, tipe gadis idamanku. Oh, iya. Kamu kenapa? Kok dari tadi diam saja? Kamu takut, ya? Tadi kamu bilang apa? Seseorang duduk disampingku? Siapa maksudmu? "
"Ehm... Sudahlah lupakan saja, lagipula itu bukan hal penting kok. Ngomong-ngomong kita hendak kemana ya? Sepertinya aku tahu jalan ini menuju kemana. By the way, terima kasih atas pujianmu. Kamu juga luar biasa."
"Hahaha... Kita hendak ke restoran favoritku. Aku mau kamu mencicipinya. Kamu suka masakan Eropa? Atau kamu punya pilihan yang lain? Kamu pikir aku sudah punya pacar, bukan? Tadi kamu mau menanyakan itu, kan? Aku baru saja putus dengan gadis matre yang menyebalkan, tepatnya 3 bulan yang lalu. Aku benci dengan gadis yang mata duitan. Mereka hanya memanfaatkan aku.Mereka tidak benar-benar mencintaiku. Apa kamu materialistis juga?"
Ya, Tuhan. Ternyata dia baru saja putus.Untuk kesekian kalinya dia mampu membuat jantungku serasa berhenti berdetak dalam beberapa detik. Aku lumayan bingung menjawab pertanyaan itu. Aku bingung, ingin sekali aku katakan kalau aku hanyalah gadis sederhana yang mewarisi prinsip hidup ayahku, bahwa yang terpenting hanyalah ketulusan dan kejujuran. Harta ada pada urutan kesekian yang jauh sekali dari urutan 1. Harta bisa diraih hanya dengan ilmu pengetahuan. Itu sebabnya ayah selalu mengutamakan pendidikan anak-anaknya, meski kami tergolong keluarga mampu, bahkan lebih dari cukup. Sebelum aku sempat mengutarakannya, kami sudah sampai di sebuah hotel mewah berbintang 5 yang sudah jelas pengunjungnya bukan dari kelas menengah, apalagi kelas bawah. Tepat sudah dugaanku. Tujuan Jordan memang seperti apa yang ada di pikiranku.
Ya, tanpa banyak kata kami telah sampai tepat di depan pintu masuk hotel mewah itu. Seorang doorman yang dari tampangnya menurutku tidak layak berprofesi demikian segera membukakan pintu mobil dan mempersilahkan kami masuk. Ia juga menawarkan diri kepada Jordan untuk membantu memarkirkan sedan itu. Ya, memang begitulah etika di setiap hotel bergaya Barat. Jordan lalu membiarkan sang doorman membawa mobilnya menuju tempat parkir, sementara kami melenggang santai menuju restoran ala Italia kesukaan Jordan. Aku pikir kami masih harus mencari tempat, tapi rupanya Jordan sudah mempersiapkan segalanya sebelum dia menjemputku. Dari jauh aku sudah melihat sebuah meja dengan badge bertuliskan “Ordered by Mr. Jordan”. Posisinya juga sangat strategis, tepat dihadapan sebuah Grand Piano putih lengkap dengan seorang pianis pria yang sedang memainkan Endless Love dengan merdunya. Aku cukup kagum pada sosok Jordan. Dia memang perfeksionis. Memang aku kurang suka berdekatan dengan manusia tipe ini. Tapi, untuk saat itu jujur aku terhanyut. Aku benar-benar merasa berada di negri dongeng. Jordan kemudian mempersilahkan aku duduk lalu kemudian ia menuju tempat duduknya yang berhadapan denganku. Seorang waiter lalu mengambil badge nama itu, lalu memberikan kepada kami daftar menu mereka. Berhubung sewaktu di mobil Jordan bilang kalau dia ingin aku mencicipi masakan favoritnya, maka aku ikut saja apa yang dia pesan. Aku yakin dia tidak akan meracuniku dengan arsenik kadar tinggi, karena sepanjang proses pesan-memesan aku sama sekali tidak mendengar kata “arsenik” disebutkan. Aku benar-benar merasa seperti seorang idiot semalam suntuk. Pikiranku benar-benar kacau. Ada satu hal lagi yang cukup menggelitik otakku yaitu, “Mengapa pria-pria tampan ini menjadi pelayan? Sebenarnya tampang mereka sangat cocok kalau menjadi artis saja. Apa sebenarnya yang mereka pertimbangkan?” Aku terpikir tentang hal konyol ini karena aku tahu tidak mudah untuk diterima bekerja disini. Mereka pastilah orang pintar, terbukti begitu lancarnya mereka mempergunakan bahasa inggris kepada para tamu yang berwajah kaukasoid, termasuk Jordan. Tapi, itu hanya untuk beberapa menit karena sang pelayan segera berlalu menuju dapur mereka dengan membawa daftar menu pesanan kami. Lalu aku mendengar samar-samar dentingan melodi dari piano dihadapan meja kami. Semakin jelas kalau sang pianis memainkan Over the Rainbow dengan penuh penjiwaan. Aku yang terhanyut lantas hampir saja tidak menyadari bahwa alunan itu diiringi suara merdu seseorang yang terasa berada begitu dekat denganku. Ya, Jordan. Dia bersenandung lembut. .
“ Somewhere over the rainbow way up high,
There's a land that I heard of once in a lullaby.
Somewhere over the rainbow skies are blue,
And the dreams that you dare to dream really do come true.”
Aku hanya tersenyum. Meski suaranya tak seindah Luciano Pavarotti atau Shane Filan, aku tetap bisa menikmati barisan lirik itu. Hanya dua bait, lalu pelayan datang membawa seporsi Huzarensla yang disajikan diatas piring saji kristal ceper yang tampak begitu memukau sehingga menambah selera bagi si pemesan. Kami juga disajikan Italian Deep Dish Pizza yang dari namanya pun sudah terasa kenikmatan dan gizinya. Lalu sebotol wine yang dari warnanya aku yakin kalau itu berkadar alkohol < 2% dihidangkan untuk kami. Jordan lalu memulai acara makan malam kami.   Namanya juga gadis rumahan yang dididik oleh kedua orangtua yang begitu religius, aku tidak serta-merta menyentuh segenap menu menggiurkan itu. Aku lalu melipat kedua tanganku dan mulai berdoa. Selesai aku berdoa, Jordan lantas tertawa kecil sembari memandangku. Aku sendiri merasa aneh, mengapa dia menertawakanku. Aku merasa biasa saja sampai akhirnya dia memberitahuku kalau ini hanya makan malam biasa, bukan makan malam keluarga. Aku tertawa juga mendengar penjelasan singkatnya itu. Meskipun dalam hati aku tetap mengimani bahwa dimanapun berada sebelum makan, sebagai orang beriman kita tetap harus memulainya dengan doa. Tanpa banyak bicara, kami menghabiskan makanan yang sedari tadi menggoda itu.
Selesai makan, dia menuangkan wine merah muda itu ke dalam sepasang sloki yang ada dihadapan kami. Lalu dia memberikan satu kepadaku dan satunya lagi untuk dirinya sendiri. Kami lalu melaksanakan ritual cheers sebelum mengguyur tenggorokan kami dengan wine itu. Selesai minum, kami tidak langsung pulang. Dia memandangiku dengan tajam, sampai membuatku sedikit salah tingkah.

Aku mirip dia…
“ Kamu mirip Julie ”
“ Apa? Siapa tadi namanya? ”
“ Julie... Julieta “
“ Eee... Siapa dia? Dia blasteran sepertimu juga? Apa aku boleh tahu? Itu juga kalau kamu tak keberatan berbagi denganku.“
“ No, pure American. She's my first love. I love her very much. Although she never gave me an answer until she's went to left me forever...”
“ Really? Oh, God. Please forgive me, Jordan. I didn’t mean to hurt you anymore. I really sorry.”
“ Tak apa. Kamu pantas tahu. Memang untuk inilah Vana mengenalkanku padamu. “
Oh, tentu saja. Untunglah dia mengingatkanku akan tugasku. Aku memang ada disini untuk menjadi teman curhatnya. Aku hampir saja melupakan itu.
“ Iya, memang begitulah seharusnya. Lalu, kamu mengenal Julie sejak kapan? “
“ Sejak kami baru lahir. Bundaku pernah bilang kalau kami dijodohkan sejak lahir. Orangtua kami adalah sahabat karib sekaligus rekan bisnis. Kami tumbuh bersama, tertawa bersama, menangis bersama, bermain bersama, belajar bersama, makan bersama, bahkan sekolah di tempat dan kelas yang sama. Aku sangat menyukainya.”
“ Begitukah? Lalu, kenapa tadi kamu bilang kalau dia meninggalkanmu untuk selamanya? Maaf, tapi apa dia sudah meninggal? Apa sebabnya?”
“ Ya, dia sudah lama meninggal. 5 tahun yang lalu, tepat di usianya yang ke-17, dia pergi meninggalkan kami karena penyakit kanker otak yang dideritanya. Dia dan keluarganya tidak pernah memberitahuku tentang penyakitnya ini. Belakangan aku tahu, ternyata Julie tak mau membebani pikiranku dengan penderitaannya ini. Setelah kepergiannya yang menyedihkan, aku baru sadar kenapa selama ini dia tidak pernah menjawab satu-satunya pertanyaanku untuknya.”
“ Ehm... Apa pertanyaan itu?”
“ Do you love me? Would you be my love angel without wings? ”
“ Kamu bertanya seperti itu padanya? Dan dia menyimpan jawabannya sampai ajal menjemputnya?
“ Ya. Dia membisu setiap kali aku menanyakan hal yang sama, bahkan selalu mengalihkan pembicaraan. Sampai akhirnya aku sama sekali kehilangan nyali untuk menanyakannya lagi.”
Terlihat sangat jelas betapa Jordan begitu menderita. Dia menangis. Ya, menangis tersedu-sedu dihadapanku. Sosoknya yang sedari tadi begitu berwibawa, ia runtuhkan sendiri dihadapanku. Aku sendiri merasakan betapa sakitnya dia. Aku bisa merasakan lukanya. Kasihan dia. Tapi aku yakin Julie pun begitu menyayanginya, itu sebabnya ia merahasiakan tentang penyakitnya sampai maut menjemput. Aku yakin ia ingin sekali memberikan jawaban semisal,” Yeah, I love you too. I wanna be your love angel although without wings. “
Aku larut dalam kisahnya sampai-sampai aku tak sadar kalau tetes demi tetes airmata jatuh membasahi pipiku.
Kami pun larut dalam airmata sampai akhirnya aku menyadari bahwa kami sebenarnya berada di tengah keramaian sedari tadi. Aku yang jelas-jelas merasa canggung pada orang-orang di sekitar kami, langsung saja mengajak Jordan untuk pulang. Ternyata ia pun baru menyadari keadaan itu. Setelah kami menyelesaikan pembayaran, kami bergegas menuju jaguar hitamnya yang sudah menunggu di depan pintu lobby  hotel. Jordan membukakan pintu untukku, dan mempersilahkan aku masuk. Lalu ia memberi tip untuk doorman yang membawa mobil tadi dari parkiran menuju lobby, sebelum ia masuk ke dalam mobil. Kami pun kembali melaju di jalan raya, tapi aku sedikit heran ketika jalur yang kami lewati kurasakan melenceng...
" Ehm, Jordan. Ini bukan rute menuju rumahku, kan?"
" Oh iya, aku lupa bertanya padamu. Kamu mau langsung pulang atau masih punya sedikit waktu untuk mendengarkanku? Sebentar saja... "
Aku sungguh menyadari bahwa ini adalah pertama dan terakhir kalinya kami bertemu..
" Baiklah, kalau kamu masih ingin bercerita. Tapi kita hendak kemana, ya? "
" Ke taman bunga. Kamu mau 'kan aku ajak kesana? Malam-malam begini, taman bunga terlihat lebih indah daripada di siang hari."
" Boleh saja, asalkan kita pulang tidak lewat dari jam 9 malam ya. Itu batasan waktu paling lama yang diberikan ayah padaku. Aku tak mau membuat ayah marah."
" Iya, aku beri jaminan padamu. Kita akan sampai tepat waktu di rumahmu."
Waktu menunjukkan pukul 08.00 malam, dan kami tiba di taman bunga. Aku merasa segan kalau Jordan harus mempersilahkan aku turun lagi. Jadi sebelum ia membukakan pintuku, aku langsung turun dan lekas-lekas menutup pintu mobilnya. Dia sedikit kaget dengan tingkahku tapi tetap menyunggingkan senyumannya yang cool  itu. Kami lalu duduk berdua diatas ayunan kecil dibawah pohon bougainvillea, yang dari bunga-bunganya yang berwarna-warni, hasil dari seni bercocok tanam. Lumayan lama kami saling terdiam, mungkin juga sedang mencari kalimat pembuka. Lalu Jordan mulai bicara, suaranya terdengar sedikit serak...
" Hari ini Julie berulang tahun, yang ke-22 sekaligus 6 tahun kepergiannya. Bisa beritahu aku dimana dia berada sekarang? Apakah dia bahagia disana? Apa dia sendirian? Dia paling takut tinggal sendiri, kesepian. My first love."
Aku tahu, ia tidak butuh jawaban apapun. Ia hanya butuh didengarkan. Ia menangis lagi, kali ini ia tampak begitu lega. Segenap beban dan emosinya ia luapkan tanpa ampun. Hingga aku tak tahan lagi melihatnya. Aku begitu terluka sama seperti dia. Dia lalu menggenggam tanganku dengan sangat erat. Aku tidak menjerit kesakitan karna aku tahu itu adalah luapan bebannya selama ini, meskipun jemariku terasa sakit sekali. Tenggelam dalam keharuan dan kesakitan, aku hampir tidak menyadari bahwa Jordan sudah berhenti menangis dan menanyakan hal yang benar-benar membuatku shock.

Aku ingin kamu menjadi pasanganku…
" Aku menyukaimu. Bisakah kita lebih serius? Aku ingin kamu menjadi pasanganku. Bolehkah? "
Aku tersentak kaget. Ini sungguh membuatku terperanjat. Sebelum aku menyetujui ataupun menolak permintaannya ini, ia serta-merta menyela...
" Aku tahu kamu pasti terkejut mendengarnya. Dan ini semua memang diluar kesepakatan kita. Tapi jujur, aku merasa telah menemukan semua yang kurasakan terbaik untukku di dalam dirimu, pribadimu. Apapun jawabmu, aku siap."
Matanya menatapku dengan penuh harap. Dalam sekali.
" Eee... Eee... Eee... A... A... Akk... Aku perlu waktu untuk berpikir. Aku takut salah memutuskan. Kita baru saja saling mengenal, dan aku begitu kagum pada Julie. Tidakkah kamu merasakan hal yang sama dengan perasaanku ini? Lalu bagaimana dengan Ivana? Apa yang akan aku katakan padanya nanti. "
" Baiklah jika itu yang kamu inginkan. Biarkan aku menunggu jawaban itu sampai kamu bersedia memberikannya padaku. Besok pagi-pagi sekali aku berangkat menuju Perth, flight  pertama. Kita tidak akan berjumpa lagi sampai waktu yang aku sendiri tidak tahu kapan saatnya. Tapi, aku akan selalu menghubungimu dengan cara apapun. Aku tahu siapa Ivana. Dia tidak akan terganggu apalagi marah jika dia tahu kalau kita memutuskan untuk menjalin pertemanan istimewa."
" Baiklah. Biarkan aku memikirkan semuanya dengan matang. Aku janji, segera akan aku berikan jawabnya untukmu. Kuharap kamu bersabar dan berdoa semoga yang terbaiklah yang terjadi."
" Yeah... I'll be waiting for the best answer from you. Sekarang hampir jam 9 malam, ayo kita pulang."
Kembali kami larut dalam keramaian lalu lintas kota. Sesampainya didepan rumahku tepat pukul 9 malam, ia ingin sekali singgah dan mengantarkanku sampai kehadapan orang tuaku. Tapi, aku menolaknya dengan halus. Terang saja, kami baru saja saling mengenal sementara aku masih 16 tahun. Apa kata orangtua ku nantinya? Akhirnya dia membiarkan aku pada keputusanku untuk turun di depan rumah saja. Lama dia memandangku hingga aku masuk ke dalam rumah dari balik kaca film nya sebelum akhirnya jaguar hitam itu melaju dengan kencang. Setelah mandi dan berganti pakaian, aku langsung tergeletak diatas ranjangku sembari memikirkan permintaannya tadi.Aku sebenarnya tidak begitu yakin pada apa yang dikatakan Jordan tentang Ivana sahabat kami itu. Aku meragukan kata-kata Jordan hingga keesokan harinya aku menemui Vana di kelasnya. Wajah Vana begitu sumringah, aku mulai merasakan sesuatu yang membuatku merasa curiga.
" Hei, Vana. Kemarin adalah hari yang benar-benar melelahkan. Tapi dia memperlakukanku dengan sangat sopan. Aku begitu nyaman berbincang dengannya kemarin meskipun awalnya aku benar-benar kaku."
Reaksi Vana diluar dugaanku. Bukan tanggapan seperti biasanya. Ia malah bercerita panjang lebar tentang Jordan padaku, seolah tak satupun tentang Jordan yang tidak ia ketahui. Aku memandang matanya begitu bersinar dan ceria ketika ia bercerita tentang pribadi Jordan. Sepertinya aku pernah melihat Vana seperti ini. Aku terus berusaha mengingat moment  itu, hingga akhirnya aku ingat terakhir kali Vana seperti ini ketika ia jatuh cinta pada mantan pacarnya 2 bulan yang lalu. Tepat sudah apa yang kuragukan kemarin malam. Vana jatuh cinta pada Jordan dan entah mengapa, aku benci menyadari itu...
            Mungkin aku cemburu, mungkin juga hanya perasaanku saja. Tapi, aku sama sekali tek terpikir kearah yang lain. Aku hanya menatap mata Vana dalam-dalam. Aku terdiam sementara Ivana terus-menerus bercerita panjang lebar tentang Jordan. Jika saja Vana memintaku untuk mengulangi segala ucapannya, tentu saja aku tak bisa. Aku sama sekali tidak memperhatikan ucapannya. Lebih daripada sekedar kata-kata, gesture-nya sudah “bicara”. Ia tidak menyadari itu sampai bel tanda istirahat berakhir berbunyi. Aku pamit pada Vana. Ia tersenyum lalu kembali bergelut dengan buku soal-soal miliknya. Dalam perjalanan menuju kelas pun aku masih saja terbayang tatapan Vana. Sungguh-sungguh aku terjerat dalam perasaan aneh itu. Tapi, memang bukan tipeku untuk ambil pusing terhadap hal-hal sejenis itu. Dengan siapapun Vana jatuh cinta, ia berhak. Tak ada satupun alasan untukku membantah. Tiba-tiba aku teringat permintaan Jordan padaku kemarin malam di taman. Aku berniat untuk jujur keesokan harinya pada Vana sebelum perasaannya bersemi terlalu dalam.
            Pelajaran selesai, aku bergegas keluar dari lingkungan sekolah menuju pangkalan angkutan umum. Seperti biasa, aku harus mengejar angkutan yang hampir penuh suapaya bisa cepat-cepat pulang. Maklum saja, angkutan yang biasanya kunaiki adalah jenis terlangka didaerah itu. Tapi, sebelum angkutanku tiba, mobil vana berhenti tepat dihadapanku. Klakson dibunyikan oleh mang Udin, supirnya. Kaca Vana dibuka perlahan, dan...
            “ Hei, Yona...! Ayo naik. Aku ingin mengajakmu jalan. Bisa, kan? Atau kamu ada urusan penting? “
            “ Oh, tentu saja bisa. Memangnya kita mau kemana? “
            “ Naik saja dulu, nanti aku beritahu kemana tujuan kita. “
            Aku langsung masuk ke dalam mobil Vana. Meski terasa canggung dan segan pada mang  Udin berhubung beliau bukan supirku, aku upayakan agar tampak biasa saja. Sepanjang perjalanan Vana memutar dvd  lagu-lagu beraliran rock, seperti lagu milik Linkin Park  yang sampai sekarang pun aku tak tahu apa judulnya karena aku bukan penikmat aliran musik itu. Terlintas kalau seorang gadis menyukai aliran musik seperti ini, pasti ia adalah gadis yang sedang punya masalah.
            “ Ehm... Vana, kamu benar-benar menyukai lagu-lagu seperti ini ya? Menurutku ini sama sekali enggak asyik, loh. Seperti seorang yang sedang punya masalah... Ups, maaf kalau aku salah. “
            Vana yang sedari tadi bernyanyi mengikuti alunan dvd  itu, tiba-tiba berhenti bersenandung.
Aku pikir dia marah atau tersinggung karena pertanyaanku itu. Aku hanya bisa menggaru-garuk kepala sambil terus menatapnya dengan rasa bersalah.
            “ Aku memang menyukai aliran musik ini. Bukan karena punya masalah atau yang sejenisnya. Tapi, aku sungguh-sungguh menyukainya. Meskipun begitu, kamu benar tentangku. Aku memang punya banyak masalah, orangtuaku lebih tepatnya. Aku, kakak, dan adikku sepertinya sudah hidup sebatang kara. Kalau dipikir-pikir, lebih baik kami bertiga hidup tanpa orangtua. Bayangkan saja, sejak balita hingga sekarang kami diasuh oleh sekretaris papa. Tante Diana, itu namanya. Cantik, baik, ramah, keibuan, penyayang, dan kelebihan-kelebihan lainnya yang sama sekali tak dimiliki mama. Bahkan ia juga sudah seperti papa buatku. Setiap aku punya masalah, tante Diana yang mengurusnya. Ketika orangtuaku terpaksa dipanggil oleh wali kelas adikku untuk mengambil rapornya yang penuh dengan nilai mati, tantelah yang meringankan kakinya untuk datang menghadap. Lucu juga setiap orang justru mengira tante Diana-lah mama kami. Kami leluasa untuk curhat, menangis, dan tidur dipangkuannya. Ia benar-benar tipe ibu idaman. Meskipun ia justru tidak bisa mempertahankan rumahtangganya. Untung saja saat ia bercerai, anak-anaknya sudah remaja dan bisa memilih mana yang baik dan yang tidak baik. Jadi tante tak perlu bersusah-payah untuk mengajukan gugatan hak asuh anak. Kedua anaknya memilih untuk ikut dengannya meski mereka tetap berhubungan baik dengan ayah mereka.”
            Aku terkejut dengan apa yang dituturkannya barusan. Mengerikan sekali apa yang dialami Vana dan saudara-saudaranya. Mendengar itu semua, aku semakin mengerti mengapa saat pertama kali berkenalan dengannya, ia begitu dingin dan kaku. Rupanya ia sudah dibentuk menjadi batu yang bergerak oleh keadaan. Kalau diingat-ingat saat itu, aku bahkan sama sekali takut untuk menyapanya. Entah apa tujuan Tuhan sampai aku ditakdirkan untuk duduk sebangku dengannya tepat dihadapan meja guru. Mengerikan untuk beberapa bulan duduk berdampingan dengan “batu”. Tak sekalipun ia bicara. Bahkan, teman-temannya pun bisa dihitung jari. Hanya dua orang dan itupun jarang sekali berkunjung ke kelas. Setiap bel istirahat, Vana hanya mengerjakan soal-soal Fisika, Kimia, dan Matematika. Tak salah kalau ia menjadi anak super cerdas yang sanggup menyelesaikan soal-soal setingkat olimpiade internasional yang disuguhkan pada kami setiap kali ujian. Tapi bagiku tak ada gunanya IQ  tinggi tanpa EQ  yang memadai. Aku sendiri sampai hampir mengajukan permohonan untuk dipindahkan ke bangku lain. Mungkin ini yang namanya takdir. Aku tiba-tiba merasa tertantang untuk mengubah “batu” menjadi “air”, meski kedengarannya sangat mustahil.
            Sejak itulah, aku mulai mencoba SKSD  pada Vana. belakangan aku diberitahu ibuku kalau kami ternyata bersaudara jauh, ketika aku bercerita tentang Vana pada suatu kesempatan.  Aku mengambil banyak pelajaran dari kehidupan Vana. Bahwa kekayaan bukanlah segala-galanya. Harta berlimpah bukanlah jaminan untuk hidup bahagia. Aku mulai mengajaknya berdiskusi pendek setiap ada kesempatan, mulai dari topik tentang pemilihan presiden, calon gubernur, era Orde Baru, dan hal-hal lainnya yang bisa dijadikan “kambing hitam” untuk memulai pembicaraan dengan Vana. Awalnya setiap pertanyaanku hanya dijawab dengan iya dan tidak. Lama-kelamaan, Vana terpancing juga untuk ber-argumen panjang. Cukup menyenangkan berdebat dengannya, membuatku menyadari bahwa ia orang yang cukup idealis dan berhati lembut. Dari setiap alasan dan bantahannya, terlihat jelas kalau ia lebih mempergunakan perasaan daripada logika. Ternyata caraku berhasil. Ketika perdebatan kami tak mendapatkan jalan keluar, kami justru menertawakannya bersama. Ya, sudah 3 bulan aku mengenalnya dan baru kali ini dia tertawa puas. Aku mulai bisa mengendalikan keadaan. Aku mulai mengenalkan dia pada sahabat-sahabatku. Ia mulai merasakan nikmatnya punya banyak teman, terlebih ketika ia kuperkenalkan pada Jeni, sahabatku yang seorang yatim-piatu. Dia benar-benar tidak menduga bahwa Yona seorang gadis badung  jelek ini ternyata bergaul dengan banyak orang dengan beragam kelas sosial.
            Ia juga keheranan karena aku selalu bisa mengakrabkan diri dengan setiap guru yang mengajar di kelas kami. Dia heran ketika menyadari bahwa guru-guru justru lebih percaya dan sayang padaku dibandingkan dengan ketua dan wakil ketua kelas. Ia mengira kalau menjadi supel  itu ada ilmunya.
            “ Kamu kok bisa cepat sekali akrab dengan guru-guru? Bisa ajarkan padaku? “
            “ Hahaha... Vana... Itu sifat bawaan setiap orang. Tidak bisa diajarkan, tapi bisa diasah. Cukup menjadi pribadi yang ramah dan terbuka. Kalahkan rasa minder, jadilah diri sendiri. Setiap orang pasti punya pribadi yang baik. Hanya ketulusan saja yang tak bisa dipaksakan. Itu tergambar jelas dari tingkah laku dan auramu. Kamu bisa menjadi sepertiku. Aku percaya kalau kamu adalah gadis yang baik. Kamu cantik, pintar, dan sopan, hanya saja butuh sedikit ilmu senyum dan ilmu tawa. Percaya padaku, cobalah untuk terbiasa tersenyum dan tertawa. Senyum dan tawa juga cukup ampuh untuk memperpanjang umur, loh... “
            “ Hahaha... ada-ada saja kamu ini. Baiklah, aku akan semakin sering tertawa dan tersenyum. Terimakasih telah sabar terhadapku. Aku senang punya teman sepertimu. “
            Itulah awal kedekatan kami. Akhirnya ia menganggapku sebagai teman, meski aku menganggapnya sebagai sahabat. Bagiku teman dan sahabat punya perbedaan yang signifikan. Semua orang adalah teman tapi sahabat hanya beberapa. Teman mudah didapat tapi sahabat harus teruji.  Untuk langkah awalku, cukup sudah ia mengakuiku sebagai teman. Aku senang... Aku berhasil.

Cinta segitiga, hancurnya persahabatan…
            Jujur, aku cukup bosan dengan profesi sebagai “pendengar” yang sama sekali tak bisa berkutik apapun. Aku yang memang berencana untuk menceritakan kejadian tadi malam pada Vana, tanpa pikir panjang langsung saja mengoceh tanpa ampun...
            “ Vana, sebenarnya ada satu hal yang ingin kusampaikan padamu tentang kejadian kemarin malam. Aku tahu, mungkin hatimu akan terluka tapi aku pikir sebagai sahabatmu aku tak boleh merahasiakan apapun darimu. Aku hanya ingin kamu tahu hal ini. Apapun tanggapanmu nantinya, aku terima itu. “
            Vana mengusap airmatanya...
            “ Memangnya apa yang terjadi tadi malam diantara kalian berdua? Terjadi kesalahpahaman lagi ya? “
            “ Tidak. Hanya saja... Ehm... Jordan memintaku untuk...”
            “ Untuk apa? Jadi pacarnya? Lalu, kamu menerimanya? ”
            “ Darimana kamu tahu? Dia meneleponmu, ya? Kamu marah? Kenapa bertanya begitu? “
            “ Bukan dia, tapi aku yang meneleponnya. Aku merasa gelisah semalaman dan aku pikir lebih baik aku berbincang sebentar dengannya. Dia tidak bilang apa-apa. Hanya aku merasa tadi malam adalah pertama kalinya ia bersikap begitu beku padaku. Padahal biasanya dia begitu hangat dan ramah padaku hingga aku ...” 
            “ Jatuh cinta padanya, iya kan? Jawab aku, Vana, tolong jujur padaku. Aku ingin kita saling terbuka. “
            Ivana mengangguk perlahan. Hatiku kalut, terluka. Aku sadar betul betapa aku menyayangi sahabatku ini. Tapi, aku tak bisa mengerti dengan perasaanku sendiri. Sepertinya aku juga merasakan bahwa Jordan memang istimewa untukku. Entah setan apa yang merasukiku, aku ungkapkan beban hatiku pada Vana.
            “ Vana, tadi malam Jordan memintaku untuk jadi pacarnya. Aku belum memberikan jawaban dan ia bersedia untuk menanti jawabanku selama apapun itu. Aku pikir, akupun merasakan hal yang sama dengannya, padanya. Tapi percayalah, kamu tetaplah yang terpenting bagiku. Sahabat lebih berharga daripada seorang pria. Lagipula aku masih terlalu muda. Kalau kamu benar-benar tulus padanya, aku bersedia membantu. “
            “ Tidak, kamu bohong...! Kamu tidak benar-benar menganggapku lebih penting dari dia, iya kan?! “
            “ Vana... Aku... “
            “ Ah...! Aku tak mau mendengar apapun lagi. Kamu terima saja dia, biarkan aku begini sendiri. Aku tak ingin memiliki teman sepertimu. Aku benci kamu...! ”
            “ Vana...”
            Ivana lalu menguatkan volume lagu yang sedang diputar oleh mang Udin. Semakin keras dan semakin keras... Ia sama sekali tak menghiraukan aku. Akhirnya, akupun terbawa emosi karena terus-menerus memanggil namanya tanpa sekalipun dijawab.
            “ Vana... “
            “ Vana... “
            “ Ivana Youvelina...! Seberapa bencinya kamu padaku hanya karena seorang Jordan Brizza Hermawan? Apa hanya sebatas itu kamu menganggapku teman? Kalau kamu mencintainya, tak masalah bagiku. Kenyataannya adalah aku sudah mengetahui ini sebelumnya, tapi kamu tak pernah menceritakannya padaku. Kamu biarkan kami terus bersama, berbincang lebih dekat, melangkah terlalu jauh. Kamu pikir hatiku tentram? Aku tersiksa, Vana...! Aku sadar kalau permintaanya begitu tulus ia utarakan padaku. Harapannya begitu besar untuk aku katakan iya...! Lalu aku harus bagaimana? Aku begitu menyesali apa yang sudah terjadi. Baiklah, aku akan katakan pada Jordan kalau aku tak bisa bersamanya karena ada seseorang yang begitu tulus padanya. Begitu lebih baik, Vana? Tapi, jangan pernah katakan lagi kalau kamu membenciku. Aku menyayangimu, Vana. Kamu adalah sahabatku.“
            Vana terdiam. Aku terus menatap matanya, berharap ia menyadari betapa aku menyayanginya seperti diriku sendiri. Dia terus tertunduk, jemarinya mengepal. Aku sudah bersiap-siap minta diturunkan di tengah jalan untuk melanjutkan perjalananku menuju rumah, tak peduli kemana tujuan awal kami tadi. Aku meminta mang Udin untuk berhenti di persimpangan jalan. Menyadari kalau gadis yang berada bersamaku ini punya sifat khas “membeku”, aku bergegas untuk turun dari mobil.
            “ Vana, aku pamit. Terimakasih, maafkan aku. Mang Udin, terima kasih. Maaf merepotkan. “ 
            Tiba-tiba aku merasakan seseorang menggenggam tanganku, mencegahku untuk turun dan pergi.
            “ Tunggu, jangan pergi. Maafkan aku, Yona. Aku sadar kalau aku tak punya hak untuk marah dan benci padamu. Terimakasih sudah jujur padaku dan tak berniat untuk menusukku dari belakang. Kamu tak perlu mengatakan apapun pada Jordan. Terimalah ia, jaga ia baik-baik. Aku percaya kalau ia lebih baik bersamamu, bukan bersamaku. Jangan pernah tinggalkan aku, sahabatmu. Naiklah, aku antar kamu sampai kerumah. “
            Vana tersenyum, tapi aku ragu. Aku memang manusia biasa yang tak bisa lepas dari yang namanya suudzon. Senang rasanya bisa berbaikan lagi dengan sahabatku. Tapi seperti ada sesuatu yang mengganjal dihatiku, seolah gadis ini bukan lagi Vana yang selama ini kukenal. Akupun meraih tangannya, memeluknya dan sama-sama tenggelam dalam rasa yang bercampur-aduk. Aku menolak untuk diantarkan pulang. Dia membiarkanku pada keinginanku untuk dibiarkan sendirian tanpa sedikitpun berusaha membujukku.
            Aku berjalan lunglai sampai ke rumahku. Segera menuju kamarku dan tergeletak diatas ranjang. Aku menangis, berpikir bahwa semua sudah berakhir. Bahwa tak akan ada lagi yang saling melukai. Aku mulai merasakan senyuman tersungging dibibirku. Rupanya itu hanya kelegaan sesaat. Sore itu telah menjadi awal dari luka yang selanjutnya akan digoreskan Ivana bertubi-tubi dihatiku.
Ya, aku paham bagaimana perasaan seorang gadis yang terang-terangan tahu kalau pria yang dicintainya ternyata mencintai sahabatnya. Sakit, memang. Tapi, apa balas menyakiti itu cara terbaik? Aku rasa bukan. Vana semakin menjauh dariku. Mundur perlahan, istilahnya. Seperti biasa setiap jam istirahat pelajaran, aku selalu mengunjungi Vana di kelasnya. Dia memang tetap tersenyum dan bersikap seolah kejadian waktu itu tak pernah ada. Tapi, ia mulai berteman dan bergaul sangat akrab dengan Cindy, Anas, dan Rezee, teman sekelasnya yang aku pahami sebagai kelompok broken home. Sungguh memang hal inilah yang aku takuti. Aku benar-benar takut kalau Vana akan terbelenggu dalam pergaulan ala mereka. Tapi, segalanya terjadi mendahului aku. Aku mengambil posisi duduk dihadapan meja Vana, lalu mencoba mengobrol dengannya. Tapi, yang terjadi adalah dia justru bercanda dan tertawa terbahak-bahak bersama teman-teman barunya, yang kujuluki trio gaul karena aku ingin mereka tak mencurigaiku. Hal yang dibahas justru hendak ke diskotik  mana mereka pergi malam ini, lalu dirumah siapa mereka menginap esok malam, body painting, dan hal-hal sejenisnya yang aku tahu dulu Vana tidak sukai. Jelas aku jadi patung dengan tampang super bodoh dihadapannya.
               Aku memandang matanya mencoba kembali menggenggam hatinya, tapi nyata sudah aku tak mampu lagi. Aku tak bisa lagi mengenali siapa dia. Dia bukan Vanaku. Bukan. Mataku berkaca-kaca waktu itu dan aku tak tahan lagi lalu beranjak pergi berlari kembali ke kelasku tanpa pamit. Aku yakin, Vana pun tak menyadari kepergianku karena  dia terlalu sibuk dengan mereka. Sejak saat itu, kami semakin jarang bertemu, mengobrol, bahkan tak pernah lagi makan siang bersama di kantin sekolah. Tak terasa, akirnya kami berada di tingkatan terakhir dari Sekolah Menengah Atas. Kami sibuk mempersiapkan masa depan, hendak kemana kami melanjutkan jalan hidup. Kesibukan itu menjadi alasan paling ampuh untuk aku semakin menjauhi  Vana. Beberapa kali kami berpapasan di lingkungan sekolah, aku berjalan sendiri dan dia bersama salah seorang teman barunya, dia memang tersenyum hambar tapi aku diam saja. Aku pikir itu cara yang tepat untuk bilang ke Vana kalau aku tak mau dia terjerumus. Rupanya caraku itu ditanggapi salah olehnya karena hasutan teman-temannya. Aku menyadari itu ketika malam harinya Vana menuliskan sebuah kalimat-kalimat menyinggung persahabatan kami di status jejaring sosialnya...

Perang status… Sakit hati beruntun…
                “ A friend in need is a friend indeed  
                Terlihat comment  dari Cindy...
                “ Yeah, that’s right, dude. A friend is someone who can stay beside you forever, like us. Come on! let's move on... Show must go on. Don't waste your time and hurt your heart only for someone who's that always feel jealous because you have cute friends like me and the others...”
                Oh, Tuhan. Mereka benar-benar setan-setan yang tak senang kalau kami bersama. Alu langsung menuliskan komentarku disana...
                “ @Cindy : Cindy, sahabat memanglah mereka yang setia dan tetap ada untuk kita meski apapun yang terjadi. Tapi, sahabat berhak untuk mengingatkan kita jika kita keliru. Setiap orang punya caranya masing-masing. Bisa saja cara itu salah, tapi kenyataannya ada niat yang begitu tulus di dalam hati seorang sahabat. karena persahabatan tak hanya sebatas untuk bersenang-senang. Ketika sahabatmu terasa begitu jauh karena ia salah jalan, apa yang akan kamu lakukan?”
                “ @Yona : Aku enggak  akan pernah ningggalin sahabatku. Aku akan coba untuk bicara padanya karena aku yakin kalau dia pasti mengerti. Bukannya meninggalkannya jauh dan menyakiti hatinya.”
                “@Cindy: Lalu bagaimana jika kamu sendiri tak lagi bisa mengenali siapa sahabatmu itu, bahkan dalam posisi berhadapan? Bagaimana jika ternyata kamu harus menyaksikan kenyataan bahwa ia bukan yang dulu lagi? Bagaimana kalau ternyata jemarimu tak cukup kuat untuk menggenggam jemarinya? Aku hanya tak ingin sahabatku salah jalan. karena aku sayang sahabatku.”
                “ @Yona : Sepertinya kalian harus bicara. Ada banyak hal yang harus diluruskan. “
                “ @Cindy : Baik, jika itu harus.”
                Keesokan harinya, aku dan Vana bertemu di kantin sekolah. dari jauh aku melihat Vana duduk begitu angkuhnya. Aku berjalan lambat menuju kearahnya. Sepanjang jalan aku terus mengingat kenangan kami...
                “ Hai, Vana... Aku...”
                Vana menjawabku dengan nada sinis sambil melipat kedua tangannya seolah ia sedang menantangku...
                “ Sebenarnya apa sih yang kamu pikirkan tentang mereka? Tahu ‘gak, mereka itu baik. Mereka yang membuatku merasakan indahnya persahabatan. Mereka selalu ada dan siap ketika aku mengajak mereka jalan. Tidak sepertimu yang selalu saja sibuk dan tak punya waktu. Karena mereka, aku bahagia dan bisa tertawa puas. Sedangkan kamu? Selalu banyak alasan!”
                “ Ya, Tuhan. Vana, aku tak sekalipun berpikir kalau kamu justru ingin kehidupan bebas. Aku selalu memperhatikanmu meski kamu merasa kita sudah terlalu jauh. Sadarkah kamu kalau mereka hanya memanfaatkanmu? Aku bukannya seorang yang suka memanfaatkan sahabatku sendiri. Mang Udin bukan lagi dibayar hanya untuk mengantar dan menjemputmu dan keluargamu kemanapun kalian pergi, tapi sekarang ia sudah menjadi supir mereka juga! Aku tahu, kamu merindukan kebahagiaan yang tidak kamu dapatkan dari orangtuamu. Tapi, aku tak mau memanfaatkan itu! Jujur, harus kuakui kamu rela menghabiskan seluruh isi kartu ATM mu hanya untuk bersenang-senang dengan mereka yang kamu anggap teman sejati dan itu yang mereka manfaatkan! Tapi justru itulah yang aku hindari sejak pertama kita bertemu. Aku tak pernah mau memanfaatkanmu. Aku tahu, bagimu membuang uang dalam jumlah sagat besar sehari untuk teman-temanmu bukanlah hal yang sulit. Tapi sadarlah Vana, kamu sedang dimanfaatkan. Bisa kamu katakan padaku, dalam hal apa kamu sama sekali tidak menjadi bankir  mereka? Jawab, Vana!”
                Ivana tertunduk dan membisu. Wajahnya merah menahan amarah. Tiba-tiba ia berdiri dan membentakku dengan kata-katanya yang begitu menyayat hatiku...
                “ Mereka yang terbaik dan tetap yang terbaik bagiku. Apa urusanmu kalau mereka memang layak untuk menikmati indahnya menjadi sahabatku?! Kamu iri! Iya, kamu iri! Kamu benci kalau mereka justru bisa meraih hatiku sepenuhnya, tidak sepertimu yang sok sederhana! Mereka tidak seperti apa yang kamu pikirkan, mereka itu pintar, rajin, gaul, ceria, dan segala-galanya ada dalam diri mereka. Tidak seperti kamu yang kolot, kuno, sok  baik, sok  sopan, dan sok  rajin! Lalu apa lagi? Aku muak, permisi...”
                 Malam harinya, aku menuliskan kalimat ini di jejaring sosialku...
                " Ketika aku mengulurkan tanganku untuk menolongmu, kamu hempaskan lalu aku ulurkan lagi. Aku pikir kamu akan meraihnya, tapi tangan mereka lebih kuat menahanmu. Mereka terlalu kuat untuk aku hadapi seorang diri. Ketika akhirnya aku harus berusaha meraihmu lagi dengan sekuat tenagaku, kumohon jangan lagi hempaskan aku... "
Aku tak begitu bisa menguasai emosiku saat itu, aku tak sadar sedikit pun bahwa “perang status” di dunia maya itu dampaknya luar biasa. Persahabatan kami semakin hari semakin retak, kacau, hancur perlahan-lahan. Apa yang sudah aku bina begitu saja kuhancurkan. Itulah sebabnya, aku selalu menasihati teman-temanku yang sedang bermasalah dengan persahabatan mereka agar jangan sekalipun melakukan “perang status”. Dampaknya sungguh luar biasa dan aku sudah lebih dulu mengalaminya. Aku takut kalau  akan ada Yona-Yona lainnya yang terluka dan melukai.
            “ No matter if we choose this way because we’re know what’s the best for ourself  ”
            Kalimat itulah yang ditorehkan Vana dalam akunnya keesokan harinya ketika aku kembali melihat akunku. Aku sungguh berfikir bahwa dia memang sudah tidak peduli lagi pada apapun tentang persahabatan kami. Akupun menuliskan sesuatu di akunku dengan tujuan agar Yona membacanya juga.
            “ Jikapun aku kehilangan segala-galanya yang kumiliki di dunia ini, kedua mataku,, kakiku, telingaku, suaraku. Dan jika hanya satu saja tanganku yang tersisa, itu lebih dari cukup. Karna dengan itulah aku masih sanggup menggenggam tanganmu erat-erat dan takkan pernah aku lepaskan lagi. “
            Setetes airmata mengalir dipipiku. Aku segera menghapusnya dan lekas-lekas berangkat sekolah. Kali ini aku lebih cepat berangkat ke sekolah. Mungkin karna aku  mulai kehilangan semangatku untuk kebut-kebutan di jalanan menuju sekolahku. Aku mengemudi dengan sangat lambat. Bahkan sesampainya di sekolah-pun lapangan parkir masih sepi. Setelah memarkirkan motorku ditempat yang aman dan nyaman, aku langsung saja menuju kantin. Maklum saja, gedung sekolah sebesar itu, pagi-pagi sekali masih sepi dan gelap. Aku memang manusia yang sedikit paranoid  ketika berada di ruangan yang sangat luas dengan keadaan sunyi, meski seribu lampu dinyalakan. Aku memilih untuk menikmati mie goreng pedas porsi jumbo  kesukaanku sebelum lonceng masuk berbunyi.
            Sebenarnya setiap pagi sebelum berangkat sekolah, aku selalu sarapan lengkap 4sehat 5 sempurna dirumah. Tapi, entah kenapa, pagi itu rasanya aku lapar sekali, seperti aku butuh 10 porsi jumbo  lagi. Aku melahap makananku sambil melamun. Dari jauh aku melihat Joana, sahabat kami. Dulu akulah yang memperkenalkan sosok yatim-piatu itu pada Vana. Karena kehidupan Joana yang sangat membutuhkan ditambah orangtua asuhnya yang kejam dan kasar, kami memutuskan untuk bersama membantu membiayai kebutuhan Joana ketika akhirnya ia memutuskan untuk kabur dari rumah karena tak sanggup lagi menanggung derita dan siksaan orangtua asuhnya. Aku sempat mengusahakan agar Joana menerima beasiswa dari Komite Alumni sekolah, dan kami berhasil mendapatkannya. Joana pun mengurungkan niatnya untuk pindah sekolah di tingkat akhir ini  karena kesulitan biaya.
Joana berlari kearahku , sepertinya ada sesuatu yang sangat penting yang ingin disampaikannyan padaku…
            “ Hei, Yona! Aku memanggil-manggil namamu dari teras kelasku, kenapa tidak mendengar? Melamun ya?”
            “ Ah, masa sih? Daritadi aku disini, 'kok aku nggak  dengar ya? Kamu kenapa, Na? Kok seperti dikejar setan? Hahaha…”
            “ Dasar kamu… Oh, ya. Baru saja aku bertemu dengan Ivana. Dia memberikan ini padaku dan  memintaku untuk menyampaikannya padamu.”
            Tampak sebuah amplop yang sepertinya berisi kartu undangan. Sungguh saat itu tak terpikirkan olehku undangan apa itu.
            “ Apa ini, Na? Undangan ya? Undangan apa?”
            “ Buka dan baca sajalah. Lalu pikirkan baik-baik apa keputusanmu dan beritahu padaku saat istirahat nanti. Kita bertemu disini ya…!”
            Joana bergegas lari menuju kelasnya. Aku maklum karena itu memang jam pelajaran Fisika. Joana perna cerita kalau gurunya memang kelewat disiplin dan sedikit sangar. Aku menyelesaikan sarapanku, membayarnya, lalu berjalan perlahan-lahan menuju kelasku yang hanya berjarak 5 meter dari kantin. Sambil berjalan, aku membaca undangan itu.Cukup terkejut aku mengetahui apa yang tertulis di dalamnya. Bagaimana mungkin setelah kejadian kemarin, Vana bisa memberikan itu untukku?
            “ Syalom, teman-temanku…
            Sabtu ini adalah Perayaan Ulang Tahunku yang ke 17.
            Datang ya! Jangan lupa loh, Pukul 7malam di GA Hotel…
            Tiada kesan tanpa kehadiranmu… Terima kasih “
            Aku tak habis pikir, untuk apa dia mengundangku? Toh dalam akunnya tadi pagi, tersirat jelas kalau dia sudah tak peduli lagi pada persahabatan kami. Tapi yang namanya sahabat, selalu bisa tersenyum dan memaafkan meskipun sahabat kita berkata, “Aku benci padamu! Aku muak melihatmu! ”
            Pelajaran berlangsung seperti biasa, aman dan lancar. Aku memang suka dengan semua mata pelajaran yang disajikan di kelas Ilmu Sosial ini. Sungguh dinamis! Karena asyiknya belajar, aku sampai tak sadar kalau waktu istirahat sudah tiba dan guruku pun sudah beranjak keluar kelas. Akhirnya Joana-lah yang menyusulku ke kelas. Ia langsung bertanya…
            “ Bagaimana, Yona? Kamu bersedia datang, kan?”
            “ Aku ragu, Na. Perasaanku tak enak. Aku takut terjadi sesuatu.”
            “ Aku sudah tahu apa yang terjadi diantara kalian. Diam-diam akupun memperhatikannya. Tenang saja, Yona. Takkan terjadi apa-apa. Oh, iya. Tadi sebelum aku kesini, Vana bilang kalau pestanya takkan dimulai tanpa kehadiranmu. Itu sebabnya aku mohon padamu untuk datang ya. Ivana memang nekat. Kamu pasti tak ingin membuatnya melakukan apa yang diucapkannya tadi, kan?”
            Aku terdiam sejenak. Mengerikan sekali ucapan Vana itu. Bagiku itu seperti ancaman saja. Karena akupun tahu siapa Vana, maka aku bersedia hadir di pestanya.
            Malam harinya, aku kembali berkutat dengan akunku di dunia maya. Aku sibuk dengan games yang disajikan disana sampai tiba-tiba box chat-ku berbunyi. Ada seseorang yang memulai pembicaraan denganku. Aku tak menghiraukannya, sampai tiba-tiba mataku terperanjat melihat nama seseorang yang sungguh kunantikan kabarnya selama ini.
            “ Hey, girl! How are you? What do you do now? ”  
            “ Oh! Hey, Jordan. I’m fine. What about you? So long we can’t do this catting.”
            “ I’m so bad now. Yeah, so long. But, suddenly I wanna talking with you. Bagaimana keputusanmu?
            ” Oh! Keputusanku ,ya? Waktu itu kamu bilang kalau kamu bersedia menunggu sampai aku siap untuk memberikan jawabanku. Sampai saat ini pun aku belum siap, Jordan. Banyak sekali yang harus aku pertimbangkan. Termasuk seseorang yang ternyata mencintaimu dengan sangat tulus. “
            “ Ivana, kan? Aku tahu kalau dia sahabatmu. Dia memang sangat baik. Akupun sangat menyayanginya. Tapi hanya sebatas sahabat saja. Dia sudah kuanggap seperti adikku. Sudahlah, lupakan saja dia, sekarang hanya antara kita.”
            “ Benarkah begitu? Tapi aku merasa ada yang lain dengan hubungan kalian selama ini. Hanya sekedar sahabat? Jordan, sungguh aku bingung dengan keadaan ini. Bagaimana aku harus memisahkan antara perasaanku untukmu dan perasaanku padanya.“
            “ Tapi kamu mencintaiku, kan? Iya kan, Yohana?! Yohana???”
            “ Jordan… Kamu kok bertanya seperti itu? Kamu bukan Jordan, kan?”
            “ Loh, Yona… Yona…”
            “ Halo, Yona…”
            Ada apa ini? Jordan tak mungkin bicara seperti ini. Setahuku dia itu lembut, kalem, santun, romantis, dan sangat pemalu. Lalu, kenapa tiba-tiba dia lain dari biasanya. Mana mungkin dia bicara seperti itu padaku. Entah kenapa, pikiranku tertuju pada satu orang. Aku memutuskan untuk diam saja dan tidak menjawab pertanyaan tadi. Tiba-tiba…
            “ Hahaha… Aku ketahuan… Ternyata kamu tergolong manusia yang sangat waspada ya, Yona! Hahaha…”
            “ Ivana… Kenapa kamu bisa memakai akun Jordan? “
            “ Iya. Jelas bisa, dong ! Kami kan sangaaaatttt dekat! Hahaha… Kamu sendiri tak pernah diberitahu Jordan tentang password-nya, kan? Kasihan sekali… Ups! Maaf…”
            “ Ivana… “
            “ Hahaha… Yasudah, aku mau off dulu. Ngantuk dan capek, nih. Pokoknya Sabtu nanti kamu harus datang ,ya!”
            “ Iya, baiklah.”
            " Terimakasih, Bubye...! Hahaha..."
            Ya, Tuhan. Jordan bahkan memberitahu tentang hal-hal urgent  pada Ivana. Bukankah kedekatan mereka melebihi kedekatan kami? Aku bahkan tak sekalipun diberitahu olehnya, apalagi berani meminta untuk diberitahu apapun tentang hal-hal pentingnya. Tapi, aku percaya kalau Jordan punya alasan tersendiri kenapa sampai dia memberitahukannya pada Ivana. Aku merasakan rasa sesak di jantungku. Aku tak tahan dengan semua perkataan Vana tadi. Dia benar-benar berhasil  menyakitiku. Saat itulah prinsipku tentang Persabatan diatas Segala-galanya diuji. Andai saja dia bukan sahabatku, pasti aku akan sangat dendam padanya. Tapi, kembali aku teringat akan ucapanku beberapa waktu lalu, “ Vana, kalau kamu mencintainya aku bersedia membantu.”
             Lalu apa lagi? Sudah jelas aku yang mengucapkannya saat itu.
            “Untuk apa aku marah? Apa aku cemburu? Ah…! Tidak mungkin! Aku tidak boleh… Tidak boleh!”
            Sungguh malam itu semakin menjerumuskanku dalam lingkaran cinta segitiga yang begitu menyiksa. Aku sadar betul bahwa dalam kisah cinta jenis ini, maka harus ada satu orang yang dikorbankan, dan akulah orangnya…

Bergembira diatas lukaku…
       " Air mataku terjatuh kehilangan hubungan indah
          Ku tak kan pernah begitu padamu 
          Tak akan pernah
          Kau sahabat atau bukan
          Kau sahabat atau bukan...”
            Itulah penggalan bait lagu Sekedar Sahabat yang dilantunkan dengan penuh penjiwaan oleh salah satu penyanyi favoritku. Aku mendengarkan bait tiap baitnya dengan seksama dan aku menyadari kalau dia memang benar. Bahkan aku sampai menangis karna kata-kata itu terlalu benar untuk dipersalahkan. Ya, Ivana... Aku seharusnya menanyakan pertanyaan yang sama pada Ivana, “ Kamu sahabat atau bukan?"
            Lusa adalah pesta ulang tahun Vana. Aku memandangi kartu undangannya. Di sudut kanannya terdapat tulisan dresscode: formal. Aku bahkan tak terpikir untuk mempersiapkan gaunku. Aku terlalu lelah untuk peduli pada apapun lagi tentang Ivana. Aku tertidur dengan foto Jordan dan foto Ivana dipelukanku. Aku ingin bertemu dengan mereka berdua dalam mimpiku malam ini. Aku berharap bisa menyelesaikan segalanya malam ini dalam mimpi.
            “ Tuhan... Pertemukan aku dengan mereka malam ini, kumohon. Amin...”
            Pagi hingga siang harinya seperti biasa aku melakukan aktivitasku sebagai pelajar SMA tingkat akhir. Begitu banyaknya soal-soal yang harus kulahap dalam waktu satu hari untuk setiap harinya. Aku muak, suntuk, capek, dan penderitaan lainnya khas anak sekolahan menjelang Ujian Nasional dan Tes Penerimaan Mahasiswa Baru. Tapi, aku tahu kalau saat-saat inilah yang jadi kesempatanku untuk membalas segala jerih payah orangtuaku untukku. Aku harus bisa membuktikan pada mereka kalau aku benar-benar layak disebut sebagai anak.
            Sungguh melelahkan ketika setiap pulang sekolah, aku harus memacu motorku lagi menuju tempat bimbingan. Aku segera menuju lapangan parkir untuk mengambil motorku lalu berkutat lagi dengan debu dan asap jalanan. Ketika aku hendak sampai ke pintu gerbang sekolah, beberapa meter didepanku aku melihat sosok Ivana berdiri seolah hendak menghalangi jalanku. Aku lantas memperlambat lajuku, aku memang tak berniat untuk menabraknya.
            “ Hei, Yona! Kamu enggak boleh pulang!”
            “ Ivana, aku buru-buru, nih. Jangan berdiri disitu ya...”
            “ Hahaha... Kalau begitu silahkan tabrak aku.”
            “ Ya, Tuhan... Ivana...”
            “ Hahaha... Kamu kira aku serius? Sayang sekali nyawaku... Pergi sana...”
            “ Hahahahhahahahaaaa....”
            Terdengar tawa terbahak-bahak dari kerumunan teman-temannya yang tanpa kusadari sedari tadi telah berdiri disekitarku memperhatikan kami. Salah seorang diantaranya merekam kejadian tadi lewat kamera handphone-nya.
            Aku emosi, juga takut terlambat tiba di lokasi bimbingan. Ingin rasanya aku turun lalu melabrak si empunya kamera, tapi aku pikir, aku pasti akan lebih telat lagi nantinya. Aku memilih untuk kembali memacu motorku. Aku ngebut tak karuan. Akhirnya aku sampai di lokasi. Aku cukup beruntung karena aku hanya telat 5 menit, sehingga aku masih diijinkan mengikuti pelajaran. Tapi,  jujur sepanjang jam pelajaran aku tak henti memikirkan apa yang sebenarnya membuat Ivana seaneh itu. Aku juga belum sepenuhnya bisa menguasai rasa cemburuku padanya. Benar-benar membuatku serasa ada dalam ruangan 1x1 meter dengan posisi berdiri berjam-jam.
            Begitulah hari-hariku selalu disibukkan dengan soal-soal, soal-soal, dan soal-soal, hingga tanpa terasa hari ini adalah sweet 17teen-nya Ivana. Aku bahkan hampir melupakannya kalau saja aku tak melihat kolom notification-ku di jejaring sosial. Aku sama sekali tak mengucapkan apapun di akunnya, tapi aku justru membawanya dalam doaku pagi ini. Aku meminta padaNya agar hari ini menjadi hari yang terbaik untuk persahabatan kami. Jujur aku ragu apakah nanti malam aku bisa menghadiri pestanya. Tapi, aku takut Ivana akan membuktikan ancamannya, bahwa dia takkan memulai acaranya tanpa kehadiranku. Tentu saja ini memusingkan. Aku bagai buah simalakama. Sulit sekali posisiku.
            Aku tetap menjalankan aktivitasku bahkan tetap mengikuti bimbingan yang notabene akan menyita waktuku sampai malam nanti. Aku benar-benar melupakan acara itu kalau saja sms Ivana tak muncul tiba-tiba saat aku sedang mengerjakan quiz Matematika. Aku langsung mengintip arlojiku dan aku terkejut melihat ia menunjukkan pukul 7malam.Aku segera menyelesaikan soal-soalku, lalu permisi untuk pulang lebih awal dan kembali lagi memacu kendaraanku menuju lokasi pesta ulang tahun Ivana. Sesampainya aku, dari jauh terlihat sosok Ivana menungguku di lobby. Dia melambai lembut, lalu bergegas menuju kearahku. Akupun segera memarkirkan kendaraannku lalu berlari kecil juga menuju Ivana.
            “ Kamu tepat waktu, ya... Sampai-sampai sekarang sudah hampir setengah delapan malam.”
            “ Eee... Maaf, Vana. Aku lup... Eh! Aku terjebak macet, maksudku.”
            “ Akh! Kamu sengaja melupakan pestaku, kan?! Jujur saja, aku tahu kalau kamu memang tak mau menghadiri pestaku. Dasar...! “
            “ Bukan begitu, Vana. Aku hanya...”
            “ Sudahlah, ayo masuk. Papa, mama, dan tamu-tamuku sudah menunggumu sedari tadi.”
            Apa??? Menungguku? Untuk apa aku ditunggu? Memangnya aku siapa, sampai harus ditunggu? Sungguh ini semua lumayan memacu lagi emosiku, tapi kuurungkan ketika aku sudah sampai disebuah ruangan privat yang didepan pintunya sudah disediakan buku tamu bertuliskan “ Happy Sweet-17-teen, Ivana Youvelina ”. Aku dipersilahkan mengisi buku itu, lalu kuberikan kadoku yang memang sudah kupersiapkan dalam tasku sejak kemarin malam. Aku masuk dan aku terperanjat. Bagaimana tidak, aku baru teringat bahwa aku tidak berpakaian sesuai dress code nya. Semua tetamu yang hadir berpakaian sangat anggun dan rapi. Aku langsung saja melihat diriku sendiri. Dari ujung rambut sampai ujung kaki segalanya enggak banget. Dengan rambut yang digulung simple menggunakan ikat rambut biasa, kaos berkerah, celana jeans casual, sepatu kets, dan tas ransel lumayan besar berisi buku Geografi, Matematika, dan Ekonomi. Wajahku memerah dan aku ingin berlari pulang saat itu juga. Tapi selangkah aku mundur, Ivana menarik tanganku, menahanku. Aku urung untuk pergi ketika aku melihat wajah orangtuanya yang tersenyum ramah kearahku sambil menganggukkan kepala tanda mempersilahkanku masuk.
            Dengan mental yang di tegar-tegarkan, aku melangkah masuk diiringi tatapan sinis dari teman-temannya. Aku mendengar bisik-bisik disekelilingku. Mereka mengira aku ini tak tahu aturan.
            “ Nah, begini nih kalau dari awal sudah tak berniat datang ke pestaku.”
            “ Ya, maaf. Aku tak sempat pulang tadi. Maaf...”
            “ Untuk apa minta maaf padaku? Yang malu ‘kan kamu bukannya aku, sih. “
            Ya, ampun. Ivana tega bicara begitu padaku. Tapi aku tetap berusaha bersabar. Acara pun dimulai dengan tiupan lilin ulang tahun oleh Ivana dan orangtuanya. Potongan kue pertama ia berikan pada orangtuanya, lalu berikutnya pada kakak dan adiknya, dan yang terakhir ia tahan lama sekali. Semua orang lalu bersorak karena mereka pikir Vana akan memberikannya pada teman pria spesialnya. Aku tahu itu bukan untuk teman prianya, karna dia memang tidak sedang berada disini. Lalu Vana berjalan lambat menuju kearahku. Joana menyikutku, “ Kenapa lama sekali? Kamu pasti sengaja, kan? Hahaha... Lihat, potongan kue itu pasti untukmu. Kamu ‘kan sahabatnya...”
            Benar juga yang dikatakan Joana. Mungkin saja itu untukku. Aku mulai merasakan senyuman tersungging dibibirku, ketika Ivana semakin dekat kearahku. Kali ini benar-benar berdiri dihadapanku. Aku senang, dan aku menengadahkan tanganku. Ia hampir saja meletakkan kue itu ditanganku, setelah 30detik lalu ia ambil kembali sambil menjulurkan lidahnya kearahku utnuk beberapa detik dan langsung diberikannya pada Cindy. Akh...! Tentu saja wajahku memerah dan airmata berlinang di pelupuk mataku. Tapi, aku tak mau terlihat lemah dihadapan Cindy dan teman-temannya itu. Aku hapus airmataku, lalu aku ikut bersorak. Aku bahagia meskipun orang yang spesial itu bukan aku.
            Cindy melirik kearahku, “ Wow! Tak kusangka. Terimakasih ya, Ivana sayang...”
            Sakit dan perih terasa. Bahkan saat jamuan makan pun, Ivana sama sekali tak berbincang denganku. Aku seperti kambing congek  yang datang hanya untuk diolok-olok. Tapi, demi diriku sendiri aku harus bertahan untuk beberapa jam saja. Aku mulai menikmati hidangan dihadapanku. Aku nikmati semuanya tanpa memikirkan apapun. Tiba-tiba pandanganku berhenti pada sosok ayah Ivana yang sedari tadi memandangku. Terlihat tatapan iba dimatanya. Aku yakin, ia menyimpan rasa curiga terhadap kejadian tadi. Ivana tak biasanya begitu. Akupun tersenyum sambil menganggukkan kepala lalu kembali melanjutkan menikmati santapanku. Aku akhirnya tak tahan juga melihat Ivana bercengkerama ria bersama teman-teman barunya, sementara aku diabaikan. Aku lantas pamit padanya dan orangtuanya, lalu aku berlari kencang menuju motorku. Aku mengemudi dengan kecepatan tinggi hingga entah bagaimana, dalam hitungan menit aku sudah berbaring di ranjang dan meremas bantalku sambil bersumpah-serapah kalau aku takkan pernah lagi berurusan dengan Vana, meski lagi-lagi hatiku tetap berpihak padanya.
            Aku tak mau lagi menangis, lalu aku menyalakan laptopku. Aku kembali berkutat dengan dunia maya. Aku mulai lagi bermain game kesukaanku. Tiba-tiba tersirat dipikiranku tentang Jordan. Aku melihat profil nya. Lalu aku berpikir untuk menuliskan pesan untuknya. Tapi, aku sadar kalau mengirim message pun sudah tak terjamin lagi kerahasiannya. Aku mengurungkan niatku, berharap menemukan cara terbaik untuk bicara pada Jordan.
            Dan benar saja, Tuhan itu baik. Meskipun hatiku disakiti, tapi Ia berikan pelipurnya malam ini juga. Handphone ku berdering. Aku langsung melompat dari kursiku karna terkejut, lalu aku angkat saja meskipun itu dari nomor tak dikenal dan kode wilayahnya terlalu banyak plus cukup aneh.
            “ Halo, selamat malam. Ini dengan siapa ya?”
            “ Oh, Hello. Are you fine, girl? Why can I hear your voice so sad here? What happen?
            “ Eeeeeeee..... Kamu... Kamu...”
            “ Yeah, I’m Jordan. Do you feel surprise to hear me now?
            “ Benarkah kamu Jordan?”
            “ Hahaha... Tentu saja. Kamu pikir aku siapa? Cinta monyetmu itu? Kenapa kamu bertanya seperti itu?”
            Aku teringat saat kejadian makan malam di restoran beberapa waktu lalu. Aku juga menceritakan tentang cinta pertamaku padanya. Dia menyebutnya cinta monyet.
            “ Ah, aku sudah lama melupakannya. Tapi kamu mengingatkanku lagi padanya. Menyebalkan.”
            “ Hahaha... Jangan marah ya. Aku cuma bercanda. Lalu kenapa kamu tidak percaya kalau ini aku? Pasti telah terjadi sesuatu, kan? Ayo cerita padaku.”
            “ Sebelumnya, darimana kamu tahu nomor handphone ku? “
            “ Kamu lupa ya kalau kamu sendiri yang menerakannya di info profil akunmu?”
            “ Hahaha... Iya, aku lupa. “
            “ Lalu...?”
            “ Lalu... Kamu benar-benar mau tahu? Baiklah.”
            Akupun menceritakan kejadian dua hari yang lalu pada Jordan. Tak kusangka reaksi Jordan begitu anehnya...
            “ Ya, ampun... Hahaha... Lalu kamu marah? Yes!!!”
            “ Kamu kenapa? Kok bilang Yes?”
            “ Hmm, aku sendiri yang meminta Vana untuk membuatmu cemburu. Aku ingin tahu apakah kamu serius denganku. Dan ternyata, memang benar. Kamu-pun menyukaiku, kan? Ayolah, jangan lagi memintaku untuk menunggu terlalu lama.”
            “ Jordan! Aku kecewa padamu. Kenapa harus menguji aku? Bukankah aku sudah memintamu untuk menunggu? “
            “ Iya, tapi sudah terlalu lama aku menunggu. Bisakah jawabanmu aku dengarkan sekarang?”
            “ Aku tak bisa memberikan jawabanku lewat telepon ataupun chatting. Aku ingin berhadapan langsung denganmu. Bisakah? Hmm... Baiklah, aku tahu pertemuan kita beberapa waktu yang lalu itu adalah yang pertama dan terakhir.”
            Lama dia terdiam, aku pikir teleponnya terputus. Tapi...
            “ Minggu depan aku pulang ke Indonesia. Aku mau kita bertemu lagi. Kali ini, aku ingin tak ada lagi penantian akan sebuah jawaban. Boleh, kan?”
            “ Baiklah. Deal?”
            “ Deal...!
            “ Tapi, benarkah kejadian kemarin itu hanya bagian dari rencanamau?”
            “ Tentu saja. Bahkan aku sudah mengganti passwordku sekarang. Kamu belum percaya juga? Baiklah aku beritahu padamu... Passwordnya...”
            “ Jangan. Aku pikir itu bukan hakku. Cukup kamu yang tahu, jangan lagi lakukan hal serupa. Aku kurang suka. “
            “ Oke...!”
            “ Sudah dulu, ya. Aku ngantuk. Selamat malam. God Bless You...”
            “ Nite. Sweet dream, ya. God Bless You too...”
            Aku percaya padanya. Tapi, bukankah kata-kata Ivana malam itu benar-benar terasa nyata? Lalu kalau hanya sekedar menguji, kenapa kejadian malam ini begitu membuktikan bahwa Ivana memang tak menginginkan aku dan Jordan bersama? Aku tak habis pikir, aku lelah, dan aku memilih untuk terlelap dalam sejuta pertanyaan itu... Kenapa... Kenapa... Kenapa...

Tersakiti dan menyakiti…
      Keesokan harinya, seperti biasa saja. Aku harus berangkat sekolah, dilanjutkan dengan kegiatan menyibukkan lainnya menjelang Ujian Nasional. Aku lumayan gentar sebab banyak beredar isu yang sekarang kusadari kalau itu sekedar isu saja untuk menakut-nakuti siswa-siswi SMA saja. Aku berjalan gontai menuju kelasku tanpa suatu apapun terlintas dipikiranku, benar-benar kosong. Kurasa kalau saja teman sebangkuku tak menyapaku waktu itu, aku pasti sudah mengalami yang namanya kesambet di sekolahku untuk pertama kali. Aku senang karena minggu depan Jordan kembali, tapi aku sedih karena secara sadar aku akan melakukan suatu hal yang kutahu pasti menyakiti Ivana. Mungkin seumur hidupnya dia takkan pernah lagi mau mengenalku, apalagi menyapaku. `Memang setan tega sudah merasukiku. Akupun tersenyum sepanjang hari. Tapi, yang namanya ketulusan hati tak bisa berdusta. Malam harinya pun aku tetap saja menangisi dan menyesali keadaan ini.
            Setiap harinya beberapa kali aku berpapasan dengan Ivana dan kelompok barunya. Sama sekali tak terasa lagi sakit hati itu. Aku bahkan tak lagi merasa canggung untuk lewat dihadapannya tanpa menyapanya. Mungkin karna aku sudah terbiasa dengan perasaan aneh itu. Hari demi hari kujalani, tak terasa besok Jordan akan tiba di kota ini. Aku mendapat kiriman pesan di inboxku. Ya, Jordan-lah pengirimnya. Kali ini aku yakin kalau Ivana tak lagi memakai akunnya. Dia memintaku untuk menjemputnya dibandara besok,  tepat pukul  13.00. Ia memberitahuku jadwal keberangkatan dan ketibaannya besok, lengkap dengan boing pesawatnya. Karena aku tahu kalau dia selalu on-time, maka malam itupun aku bergegas tidur, supaya besok bisa bangun lebih awal, lekas-lekas berangkat menuju sekolahku, dan tidak mengantuk saat berangkat menjemputnya.  Pagi harinya, sengaja aku berangkat tanpa motor kesayanganku. Hari ini rasanya aku jadi manusia paling aneh didunia. Sejak bangun hingga tiba disekolah pun aku bersenandung riang. Aku juga berdandan lebih rapi dari biasanya. Aku mulai merias rambutku sedikit feminim. Mama yang selalu memperhatikanku pun berujar..
            “ Putriku yang satu ini… Wangi dan cantik sekali hari ini? Pake acara nyanyi lagi… Hahaha… Hayo, ada apa, sayang?”
            “ Ah, mama… Mama saja yang baru memperhatikan. Hahaha… Oh, iya. Ma, aku berangkat naik angkot saja, ya. “
            “ Loh, memangnya ada apa? Kok tumben?”
            “ Ada deh, ma… Aku berangkat ya, ma. Daaaaaaaahh….!”
            “ Hei, Yona! Cerah ceria nih hari ini. Pasti sedang berbunga-bunga ya? Ayo dong, cerita.”
            “ Eh, Joana. Hahaha, iya nih. Hari ini rasanya aku punya seribu nyawa. Tahu, gak… Hari ini Jordan pulang, loh. Aku akan menjemputnya di bandara saat jam makan siang nanti. Jadi, jangan tunggu aku di kantin, ya. Makan saja dikelas bersama teman-temanmu. Atau ajak saja temanmu makan bersama di kantin. “
“ Apa kamu enggak takut telat? Nanti kamu dimarahi guru TOEFL, loh.”
            “ Tenang saja, aku akan kembali sebelum jam 2siang nanti. “
            “ Hmm… Baiklah, semoga sukses ya…!”
            Aku berlari kecil menuju kelasku. Belajar lebih segar dari biasanya, bahkan aku bisa dengan mudah memahami huruf-huruf kanji bahasa Mandarin yang selama ini menjadi musuh bebuyutanku. Tak sabar aku menunggu jam makan siang. Aku ingin segera melepaskan beban perasaanku ini. Karna akupun sungguh tersiksa dengan keadaanku sendiri.
Akhirnya waktu yang kutunggu tiba juga. Aku sudah siap-siap beberapa menit sebelum lonceng berbunyi. Tak ada lagi buku-buku dan alat tulis berserakan di mejaku. Aku langsung saja beranjak menuju pintu gerbang. Dari bawah, mataku tertambat pada sosok Ivana yang mungkin sedang melamun di koridor. Tak peduli entah apa yang dipikirkannya waktu itu, aku melakukan hal gila…
            “ Hei, Vana! I Love You… Muacchhhh….! Hahaha…”
            Aku sadar juga kalau saat itu wajah Vana memerah aneh. Tapi aku santai saja dan meneruskan langkah buru-buruku menuju gerbang. Dewi fortuna mungkin memang sedang berpihak padaku. Tak perlu menunggu lama, akupun sudah duduk santai diatas sebuah becak mesin yang bentuknya terbilang unik. Aku tak tahu bagaimana melukiskannya dengan kata-kata, tapi yang jelas aku serasa berda di atas bemo berbentuk becak. Geli aku kalau mengingatnya lagi.
            Sesampainya aku di bandara, aku langsung menuju pintu kedatangan internasional. Aku memperhatikan jadwal kedatangan di monitor. Ya, memang pesawatnya sudah tiba 15 menit yang lalu. Dari jauh aku terus melayangkan pandanganku menyusuri antrian penumpang yang padat di aula ketibaan. Saat aku melihat sejenak handphone-ku, terdengar samar-samar suara seorang yang begitu kukenal menyapaku lembut…
            “ Yona. Senang bisa melihatmu lagi. Aku benar-benar melihat surge sekarang.”
            “ Hahaha… Kamu, Jordan kan? Sedikit berubah… Tapi aku yakin kalau ini kamu. Ini benar Jordan, kan? “
            “ Tentu saja! Mana mungkin ini Paijo… Hahaha, ada-ada saja.”
            “ Hahaha… Aku hampir tak bernapas, seperti mimpi melihatmu dihadapanku saat ini. Andai kamu tahu apa yang terjadi selama kepergianmu. Aku hampir menyerah dengan segalanya tentang kita. Aku…”
            “ Sssttt… Jangan teruskan lagi. Aku mau hari ini jadi hari terbaik seumur hidup kita. Bersedia membuat hari ini penuh keindahan bersamaku?”
            “ Oke, boss!”
            “ Siipp…!”
            Kami langsung saja menumpang taksi yang sedari tadi memang menunggu penumpang. Tujuan pertama kami adalah rumah Jordan untuk meletakkan barang-barangnya lebih dulu lalu melakukan apa yang bisa dilakukan menjelang jam masuk sekolah. Aku memberitahu Jordan kalau aku tak suka membolos. Apapun yang terjadi, sekolah lebih penting bagiku. Iya bersedia mengerti dan kami saling mengobrol serius selama perjalanan.
            “ Ehm… Bagaimana kabarmu? Kamu semakin cantik saja, meskipun tak secantik Rachel Weisz.”
            “ Hahaha, bisa saja kamu ini. Mana mungkin aku secantik Rachel. Aku ini kan hanya gadis badung tak jelas yang keahliannya hanya memanjat pohon mangga.”
            “ Hahaha, tapi kamu sempurna bagiku. Aku tahu kalau kamu minder bersamaku. Tapi ketahuilah, akupun dibesarkan oleh orangtua yang sederhana.”
            Baru saja aku ingin mempercayainya, taksi kami sudah berhenti tepat dihadapan rumah super mewah, di perumahan elit  yang menurut pandanganku, seperti rumah-rumah yang ada di sinetron-sinetron. Aku takjub sekaligus berpikir untuk pulang saja. Jordan langsung meraih tanganku, mengajakku turun. Belum sempat aku berceloteh, sosok wanita anggun dan cantik luar biasa sudah menyambut didepan pintu rumah. Sosok itu melambai lembut kearah kami.
            “ Bunda…! Long time no see… I miss you, bunda…!”
            Ternyata sosok itu adalah bunda-nya Jordan. Lewat fisiknya-lah, aku tahu darimana tampang blasteran Jordan berasal. Ya, bundanya adalah wanita berkebangsaan Amerika Serikat yang kebetulan bertemu dengan ayah Jordan saat mereka sedang dalam suatu acara terkait bisnis mereka. Ayah Jordan dulunya ternyata seorang PNS asal Yogyakarta. Uniknya lagi, bundanya sungguh sangat fasih berbahasa Indonesia. Sangat  menarik mengetahui asal-usul lelaki yang satu ini.
            “ Honey… Kapan sampainya, sayang? Ini Vana ya? Wajahnya kok berubah? Sekarang kelihatan jauh ebih cantik. Bunda kangen, loh. “, ujar bundanya sambil mencubit pipiku gemas.
            Bunda??? Aku terkejut mendengar perkataan bundanya. Pastilah Ivana bukan sekali dua kali berkunjung kerumah ini. Dari caranya memperlakukanku sebagai “Ivana”, tentu saja mereka sudah sangat akrab. Sekali lagi aku merasakan sebuah jarum menusuk hatiku. Aku tersenyum sambil menggeleng sejenak, lalu menunduk lesu.
            Rupanya Jordan amat sangat menyadari keadaan ini. Lalu, serta-merta dia menjelaskan siapa sebenarnya aku pada bundanya.
            “ Bundaku sayang. Perkenalkan, ini Yohana, teman dekatku. Aku yang memintanya untuk menjemputku, karna dia istimewa buatku.“
            Aku sungguh terharu mendengarnya. Tapi, aku takut kalau bundanya tak bisa menerimaku, apalagi jika nanti beliau tahu kalau aku bukannya berasal dari kelas ningrat seperti Vana, meski akupun bukan berasal dari golongan menengah ke bawah. Tapi melihat reaksi selanjutnya, aku belajar juga untuk tidak selalu suudzon.
            “ Oh, ya? Rupanya putra kesayangan bunda sudah punya pacar sekarang. Bunda senang sekali mendengarnya. “
            “ Pacar? Bbbukan, tante. Saya ini…”
            “ Oh, iya. Bunda, aku lapar sekali.”
            “ Ya sudah, ayo masuk. Bunda sudah masak menu kesukaanmu, tempe dan tahu goreng. Barang-barangnya biar Mang Paijo saja yang mengangkut. “
            Hah?! Paijo? Lucu juga aku mendengarnya. Tadi nama itu sempat diucapkan Jordan saat di bandara. Aku tersenyum simpul lalu kembali berjalan menuju ruang makan. Lagipula, aku salut dengan menu kesukaan Jordan. Tak biasa saja bagiku, seorang yang jelas-jelas sudah seringkali berada diluar negri, makanan kesukaannya tahu dan tempe. Kebetulan sekali, aku juga suka tahu dan tempe. Lalu, kami mulai menyantap menu super nikmat itu. Aku sadar, tatapan bundanya tak pernah lepas dari sosokku. Beliau terus saja memperhatikanku, sampai-sampai cukup membuatku merasa segan dan canggung. Perbincangan di meja makan itu hanya seputar siapa namaku, darimana asalku, apa margaku, dimana rumahku, dan lain sebagainya, pertanyaan “penyelidikan” khas ibu-ibu yang sedang berhadapan dengan “pacar” anaknya.
            Sebenarnya aku risih disebut sebagai pacarnya. Maklumlah, kami memang belum resmi berpacaran. Jadi, aku cukup menginjak kaki Jordan sekali, dan dia sadar kalau aku enggan disebut sebagai pacar Jordan oleh bundanya.
            “ Bunda sayang. Kami masih berteman dekat. Mungkin dalam waktu dekat barulah kami bisa memutuskan apa yang terbaik buat kami berdua. Doakan kami ya, bunda. Malam ini kami berencana berbincang serius. “
            “ Baiklah, sayang. Semoga sukses, ya. Bunda suka sekali pada Yona. Persis seperti Julie. “
            “ Ternyata bunda bisa melihat dan merasakan apa yang aku lihat dan aku rasakan lebih dulu. Hmm… Kami berangkat dulu ya, bunda. Yona tak mau terlambat sampai di sekolah. Bye, bunda….Muacchhh…!!!”
            “ Tante, saya pamit, ya. Senang berjumpa dan bisa berbincang dengan tante.“
            “ Iya, sayang. Hati-hati di jalan, ya. Sayang papanya Jordan sedang tak ada disini. Semoga lain waktu bisa bertemu dan berbincang dengan kamu juga. Tante suka padamu.”
            Aku hanya tersenyum. Indah sekali kejadian beberapa menit itu. Kami langsung melaju dengan jaguar hitam yang aku ingat betul, mobil itu-lah yang menjemputku dari rumah saat makan malam pertama kami. Tak butuh waktu lama. Jordan memang sudah hapal jalur mana yang harus ditempuh agar aku tiba tepat waktu di sekolah. Aku bergegas turun dan melambaikan tanganku dari jendela mobilnya. Sebelum aku bergerak jauh, dia berteriak padaku…
            “ Jangan lupa, nanti malam kamu harus memberikan jawabanmu untukku. Aku jemput tepat jam 7malam nanti. “
            “ Oke, boss!!”
            Aku kembali lagi bersenandung gembira sambil berlari kecil menuju kelas. Saat aku sudah semakin dekat dengan kelasku, seseorang menyikutku dari belakang.
            “ Sekarang kamu main belakang, ya! Begitukah seorang sahabat?”
            Perkataannya itu meyakinkanku bahwa jelas dari Joana-lah ia mengetahui apa yang terjadi dalam beberapa jam tadi. Tapi, aku tak menyalahkan Joana, karna aku yakin kalau dia berpikir bahwa hubunganku dan Vana masih baik-baik saja. Lagipula, ini kesempatan emasku untuk sedikit memberi Ivana shock therapy.
            “ Oh, kamu rupanya. Ivana, dengar ya… Aku pernah menawarkan kesempatan yang sama setulus hatiku untukmu. Ketika kamu menolaknya dengan caramu yang egois dan kejam, aku mau kamu sadar dan tahu kalau caramu memang salah besar. Dan tahukah kamu? Aku sungguh menikmati apa yang terjadi sekarang. Kamu menyesal, bukan? Maafkan aku, but show must go on, dear. Yang sabar, ya… Hahaha… Bye, Vana sayang…”
            Ivana berhenti langkahnya. Ia terdiam dan wajahnya kembali lagi memerah menahan emosi. Jelas sudah aku menjadi penjahat sekarang. Tapi apa boleh buat, kesabaran ada batasnya. Aku puas sekaligus terluka karna berhasil melukai. Inilah kehidupan...

Aku jalan dengannya(lagi)…
Sepulangnya aku dari rutinitas yang menguras energi, aku bergegas berbenah diri. Aku mematut diri di cermin yang hari ini terasa lebih besar dan lebih bening dari biasanya. Aku mulai memilah-milah gaun mana yang harus aku kenakan beberapa jam lagi. Tak seperti makan malam kami yang pertama, kali ini aku tak lagi cuek. Setengah jam aku menggeledah seluruh isi lemariku, tak satupun gaun aku temukan disana. Entah karna memang aku tak pernah menyukai gaun, atau memang mataku dibutakan perasaanku.  Tapi aku tak habis akal. Aku berlari kecil menuju kamar kakakku. Kebetulan dia sedang ada diluar kota. Kubuka lemari pakaiannya., penuh dengan beragam gaun manis. Maklum saja, kakakku itu memang tipe gadis pedandan yang memang cantik orangnya. Mataku terpaku pada satu gaun tipe kuno yang unik. Gaun satin warna peach  itu aku bawa ke kamarku,  lalu aku pakai dengan sangat hati-hati agar jangan sobek. Indah, seperti Hermione Granger dalam film Harry Potter edisi Goblet of Fire. Aku berdandan sederhana seperti biasa. Lalu aku kenakan heels warna senada. “Cantik”, kataku dalam hati.
Handphone-ku berbunyi, aku tahu kalau Jordan sudah menunggu dibawah. Memang bukan tipenya untuk membunyikan klakson yang meraung-raung mengganggu telinga. Seperti aku, dia benci suara bising dan dia takut mengganggu orangtuaku. Aku menyapanya sejenak dari balkon kamarku. Tiba-tiba mataku tertuju  pada foto Vana, Jordan, dan aku, yang aku satukan dalam sebuah bingkai bentuk hati. Sungguh aku terkejut, ketika kupandang wajah Vana dan Jordan yang begitu mirip, bahkan seperti saudara kembar. Perasaanku mulai tak nyaman, tapi kuabaikan saja. Lalu, aku  turun dan berpamitan dengan orangtuaku. Saat aku membuka pintu rumah, aku  kaget  melihat Jordan berdiri didepan pintu dengan senyumannya yang indah.
“ Hai, selamat malam. Siap berangkat?”
“ Ehm… Ya, tentu saja.”
“ Ehm… Ehm…”
“ Loh, kenapa diam saja. Bukankah kita mau pergi?”
“ Iya. Tapi, boleh aku pamitan lebih dulu pada orangtuamu? Itu juga kalu kamu ijinkan.”
“ Oh…! Ya, tentu saja boleh. Aku pikir kamu takut, ternyata kamu teman yang sopan. Yasudah, ayo masuk sebentar.”
Aku perkenalkan dia pada orangtuaku. Orangtuaku menyambutnya dengan sangat bersahabat. Mungkin orangtuaku memang punya pribadi yang sangat hangat. Itu sebabnya Jordan tak butuh waktu banyak untuk bisa akrab dengan mereka.
Kami pun melaju menuju suatu tempat yang dirahasiakan oleh Jordan. Tapi, perasaanku berkata kalau kami akan menuju ke tempat yang tak asing lagi bagiku.  Aku tersenyum saja sambil menikmati perjalanan kami. Akhirnyabenar dugaanku, kami berhenti di tempat yang aku tahu itu adalah tempat dimana Jordan menanyakan hal yang jawabannya akan kuberikan beberapa saat lagi. Jantungku berdegup kencang. Aku sungguh gugup. Ia menggenggam tanganku,  menuntunku menuju sebuah meja kecil yang sekelilingnya sudah dihias romantis. Aku yakin  ini semua dilakukannya sendiri sejak tadi siang, sebab dia memang perfeksionis. Kamipun kemudian duduk manis, lalu mulai berbicang  ditemani hidangan sederhana tapi sungguh memanjakan lambungku yang sejak tadi memang kelaparan.
Tiba-tiba, seorang pelayan datang membawakan sepiring cake coklat mini. Katanya, itu dibuat oleh seseorang khusus untukku. Jelas saja aku tahu siapa yang membuatnya. Aku tersenyum curiga pada Jordan dan dibalasnya dengan menggeleng sambil tersenyum malu. Aku memandangi cake itu lama sekali…
“ Hei, cake itu dibuat khusus untuk dimakan, bukan dipandangi. Memangnya kalau dipandangi cake-nya bisa habis, ya?”
“ Hahaha… Lucu kamu. Iya, baiklah. Aku cicip, ya.”
Aku mulai menyicipinya. Nikmat sekali rasanya. Aku berpikir bahwa Jordan itu makhluk yang istimewa. Dia pintar, suaranya lumayan, dan dia pandai memasak. Aku menawarkan padanya, lalu ia menolak halus. Tapi, aku terus saja memaksanya untuk menyicipi masakannya sendiri. Akhirnya ia kalah dan menerima sesendok cake lezat itu.
Tiba-tiba dia tersedak. Aku panik. Jelas saja, karena aku yang menyulanginya. Dia terbatuk lalu memuntahkan sesuatu yang berkilauan dari mulutnya ke telapak tangannya. Aku pikir lucu sekali ada berlian dari mulutnya. Mana mungkin cake yang jelas-jelas berbahan dasar tepung dan coklat itu berubah jadi sesuatu yang berkilau.
“ Jordan, kamu kenapa? Apa itu yang keluar dari mulutmu?”
“ Ah… Oh… Ehm… Ini… Ini…”
“ Apa itu? Kok berkilauan, sih? Kamu membuat cake ini dari emas? Wah, lambungku bisa iritasi.”
“ Husss…! Ada-ada saja kamu ini. Ini bukan bahan kue, tapi ini cincin.”
“ Hah? Cincin? Untuk apa kamu masukkan cincin dalam  cake ini?”
“ Ya, ampun… Kamu belum paham juga, ya? Ini untuk kamu. Aduh, kenapa jadi aku yang kena, ya?”
“ Hahaha… makanya jangan yang aneh-aneh. Memangnya harus ya cincin dimasukkan dalam cake? Kena batunya deh… Hahaha…”
“ Huuh… Dasar kamu ini… Oke, baiklah. Sekarang biarkan aku bersihkan cincin ini. Nah, sekarang biarkan aku memasangkannya di jari manismu. Kemarikan jarimu.”
“ Wow, kamu kira segampang itu? Tunggu dulu. Aku ingin bicara.”
“ Baiklah, aku dengarkan.”
Aku terdiam. Aku butuh tarikan nafas panjang untuk memulai kata demi kata. Entah kenapa, ada dorongan dalam diriku untuk menangis. Benar saja, tetes demi tetes airmata mengalir mengiringi rentetan kalimatku…
“ Jordan. Aku mengenalmu diluar dugaanku. Aku bahkan tak pernah terpikir, bahkan bermimpi akan bertemu denganmu. Aku pernah menceritakan padamu tentang cinta pertamaku.”
“ Oh, si cinta monyet… Dia…”
“ Sssttt… Dengarkan aku dulu. Sudah sejak lama aku menyukai dia mesti sampai saat ini pun dia tak pernah tahu. Aku tersiksa dengan semua perasaan itu bahkan meski aku tahu kalau segalanya sungguh mustahil bagi kami karna begitu banyaknya perbedaan yang ada. Aku menangis dalam doaku setiap malam, memohon pada Tuhan untuk membiarkan hatiku  rela melepas dia. Aku bukanlah gadis yang mudah jatuh cinta. Sulit sekali bagiku untuk mencintai. Sebab jika aku jatuh cinta, aku akan mencintai sampai mati. Seiring waktu, aku meyakinkan diriku untuk melupakan dia perlahan-lahan. Aku meminta pada Tuhan untuk mempertemukan aku dengan seorang yang memang Ia pilihkan sebagai yang terbaik untukku dan bisa membuatku melupakan cinta pertamaku sepenuhnya. Aku bahkan berjanji padaNya akan menerima pilihanNya apa adanya setulus hatiku. Mungkin memang kodratnya jawaban doa harus dinantikan dengan sabar. Aku akhirnya menjalani hidupku dengan hati yang beku, meski aku tetaplah Yona yang ceria dan lucu hingga akhirnya aku betemu denganmu dalam situasi yang menurutku sungguh aneh. Aku percaya kalau itu adalah rencana Tuhan, ketika kudapati hatiku tak lagi kujaga dan kubekukan untuk cinta pertamaku. Aku mulai menyukaimu entah darimana asalnya rasa itu. Tapi, aku yakin, kamulah jawaban doaku yang selama ini kutunggu. Jujur, saat ini tak ada lagi ruang untuk cinta masa lalu. Tapi, aku takut untuk menyadari semuanya itu.”
“ Kenapa? Kenapa kamu takut? Kamu takut aku sakiti?”
“ Bukan. Aku takut kalau ternyata kamu bukan jawaban, tapi hanya ujian untukku. Terlebih lagi, aku akhirnya mengetahui kalau Ivana sungguh mencintaimu lebih dulu daripada aku. Kumohon jangan bantah ucapanku. Aku sendiri berpikir bahwa sebenarnya kalian saling mencintai. Mungkin kamu membantahnya dalam hatimu. Tapi harus kuakui kalau  perasaanku  tak pernah salah, hingga detik ini pun aku masih berharap kalau semua perasaan curiga itu adalah kesalahan. Tapi percaya atau tidak, tadi sebelum aku turun dari kamarku, aku melihat bingkai foto yang kuisi fotomu, aku, dan Vana. Aku terkejut melihat wajah kalian yang sungguh mirip. Kuakui kalau aku adalah manusia yang masih terpengaruh pikiran-pikiran naïf jaman dulu. Aku berpikir kalau…”
“ Kalau apa? Kami berjodoh? Itukah yang kamu pikirkan, Yona? Yona, semuanya itu hanyalah legenda kuno orang-orang jaman dulu. Jangan bilang hal sesepele itu membuatmu berubah pikiran atas keputusanmu.”
“ Tidak. Keputusanku takkan pernah berubah. Aku memang berpikir persis seperti dugaanmu. Tapi, lebih dari itu, kenyatannya kalian memang sangat dekat. Aku bahkan tak habis pikir bahwa Yona bisa memahamimu melebihi aku. Dia tahu segalanya tentangmu. Bahkan bunda juga begitu mengingat namanya bahkan wajahnya. Tak masalah bagiku hanya karna bunda memanggilku Ivana. Tapi, sadarilah bahwa kamu juga menyayangi dia jauh dilubuk hatimu melebihi aku.”
“ Aku memang menyayanginya, sangat menyayanginya. Tapi bukan mencintainya. “
“ Saat ini kamu memang belum menyadarinya. Tapi, kuharap suatu saat nanti kamu menyadari semuanya. “
“ Aku menyayanginya seperti adikku sendiri. Aku tak pernah punya adik perempuan. Ethan adikku adalah seorang pria, sama sepertiku. Aku mau kamu mengerti kalau pertanyaanku waktu itu bukanlah pertanyaan main-main dan aku masih mengharapkan jawabanmu  nanti tak akan menyakiti dan menyiksa hatiku dalam perasaanku ini.”
“ Baiklah. Aku jawab pertanyaanmu sekarang, Jordan. Dengarkan aku karna aku hanya akan mengatakannya sekali.”
“ Aku dengarkan.”
“ Terimakasih sudah menjadikanku gadis yang sungguh merasa istimewa. Terimakasih karna kamu menyayangiku setulus hatimu. Tak masalah jika memang benar kamu mencintai Ivana. Karna aku memang harus jujur agar hatiku tentram. Ya, aku menyukaimu juga. Aku menerima permintaanmu dan aku siap jika suatu saat kamu mengakui cintamu pada Vana. Kumohon biarkan kita menjalani semuanya ini dengan santai. Jangn merasa terikat padaku. Jika suatu saat kamu merasakan kalau kamu justru menyukai atau bahkan mencintai gadis lain, apalagi Ivana, bicara padaku maka dengan senang hati aku akan melepaskanmu. Bisakah kita sepakat?”
“ Sebenarnya aku sangat tidak setuju pada permintaanmu ini. Tapi  jika itu bisa membuat hatimu tenang, aku  setuju. Begitu pula sebaliknya, aku ingin kamu bicara padaku jika suatu saat hatimu berpindah pada orang lain. Jadi, sekarang kita resmi?”
Aku mengangguk perlahan. Dia melompat kegirangan. Lucu sekali kejadian beberap detik itu. Aku tertawa lega. Meski aku tahu, masalah lain sedang menantiku. Besok, kabar ini pasti sudah sampai ke telinga Ivana, entah bagaimana caranya.                 

Ia berjanji 3 hal untukku…         
Keesokan harinya benar saja, tepat seperti apa yang kuduga. Ivana memang sudah tahu apa yang terjadi semalam, sebelum aku memberitahukan padanya. Melalui Joana, Vana mengajakku makan siang bersama di kantin, sebagaimana yang biasa kami lakukan sebelum perang dingin ini terjadi. Kali ini, aku benar-benar telah mempersiapkan diriku sendiri untuk menghadapi reaksinya nanti.
            Aku mengikuti pelajaran hari ini dengan sangat fokus. Tak ada pikiran yang aneh-aneh, meskipun kemarin itu adalah momen paling indah dalam hidupku. Aku malah tidak terpikir sama sekali untuk mengingat detik demi detik kejadian itu. Mungkin saja sebenarnya aku tidak jatuh hati pada Jordan. Aku tak tahu apa sebenarnya yang sedang berkecamuk dalam diriku, tapi aku yakin kalau itu tak penting untuk dipikirkan. Saat-saat ini adalah saat-saat genting untukku mempersiapkan masa depanku. Aku harus belajar jauh lebih giat dan lebih keras lagi dari yang dulu, karena cita-citaku adalah lulus seleksi nasional perguruan tinggi negri. Ingin rasanya aku membanggakan orangtuaku sama seperti kedua kakakku yang lebih dulu berhasil menembus gerbang universitas negri impian mereka masing-masing.
            Jam makan siang tiba, lonceng pun dibunyikan. Aku berjalan santai menuju kantin sesuai undangan Ivana tadi pagi. Dari jauh aku sudah melihat Ivana dan Joana menungguku di meja kami yang dari dulu mungkin memang ditakdirkan hanya untuk kami. Tapi, ada yang tak biasa. Kali ini benar-benar merusak mood makan siangku. Ya, Ivana datang bersama kelompok barunya, Cindy, Anas, dan Rezee. Kesal aku, tapi kulangkahkan juga kakiku menuju mereka. Ivana menyambutku dengan senyuman yang aku tahu kalau itu dibuat-buat agar tampak sangat ramah.
            “ Hei, Yona. Senang rasanya bisa makan siang bersama lagi. Bagaimana kabarmu? Kulihat kamu begitu sumringah. Apa yang terjadi kemarin malam antara kamu dan Jordan?”
            “ Iya, Yona. Ayo dong, cerita. Pasti seru.”, Cindy menyela.
            Entah kenapa, aku tak lagi berpikir untuk menanyakan darimana mereka tahu tentang apa yang terjadi kemarin malam. Tapi, aku merasa kalau mereka tak perlu tahu apapun yang menurutku tak pantas untuk mereka ketahui. Mungkin aku memang ingin bercerita semuanya pada Ivana. Tapi, aku risih melihat teman-teman barunya.
            “ Ehm… Aku…”
            “ Wah… Ada yang baru jadian, nih. Selamat ya, Yona.”, sambung Anas dengan tatapannya yang sinis.
            “ Selamat? Kenapa selamat?”
            “ Ya ampun, Yona. Jangan pura-pura bodoh, deh. Kamu sekarang sudah jadi pacar seorang pengusaha, kan? Ayolah… Kamu senang, kan?”
            “Kamu bicara apa, Nas? Kasar sekali. Aku tak pernah memikirkan latar belakang Jordan. Menurutku yang terpenting adalah kepribadiannya, bukan hartanya.”
            “ Iya, dong. Kepribadiannya… Mobil pribadi, rumah pribadi, tabungan pribadi, apa lagi ya? Hahaha…”
            “ Cukup, Anas. Kali ini aku benar-benar tersinggung. Aku pikir aku ada disini untuk makan siang, bukan membahas sesuatu yang bukan urusanmu. Boleh aku duduk? ”
            “ Tentu saja boleh. Kecuali Jordan sudah membeli meja ini khusus untukmu seorang, sehingga kami tak boleh duduk disini. Uppss!”
            Terang saja telingaku panas mendengarnya. Kenapa mereka harus menyindir aku seperti itu? Aku ‘kan sama sekali tak pernah menyakiti mereka. Ya, kalau Ivana sih memang menjadi sasaran utamaku untuk kusakiti. Tapi, apa layak kalau aku seorang dikeroyok oleh empat orang sekaligus? Itu ‘kan tak adil dalam pertarungan manapun di dunia ini. Tapi, whatever-lah, aku harus bisa menghadapi kelompok yang satu ini dengan caraku.
            Akupun bergegas duduk dan mengeluarkan bekal makan siangku. Seperti biasa, aku berdoa lalu memulai makan siangku dengan lahap. Ivana duduk tepat disampingku. Beberapa kali ia menyikutku entah sengaja atau apapun alasannya, aku tak peduli. Aku tetap santai menikmati bekalku. Menjelang jam pelajaran selanjutnya, Ivana dan teman-temannya saling tatap, seperti ada sesuatu yang mereka isyaratkan. Satu persatu teman-temannya itu beranjak pergi. Mereka pergi hingga akhirnya hanya ada aku dan Ivana disana. Aku berpikir untuk pergi, tapi Ivana memulai pembicaraan. Kali ini aku tahu kalau dia benar-benar serius.
            “ Selamat, ya. Aku pikir kamu konsisten dengan apa yang pernah kamu katakan padaku. Ternyata sudah sifatmu untuk menusuk teman dari belakang.Padahal aku yang mengenalkan dia padamu.”
            “ Oh, jadi kamu mengajakku untuk makan siang bersama hanya karena kamu ingin tahu tentang kami? Apa tadi katamu? Menusukmu dari belakang? Apa yang aku lakukan ini kesalahan? Aku rasa tidak. Bahkan, Aku lebih dulu memberimu kesempatan, tapi akui sendiri dalam hatimu apa yang kamu lakukan padaku. Oke, terimakasih karena sudah mengenalkan dia padaku. Lalu, apa yang bisa aku lakukan untuk membalas kebaikanmu itu, nona Ivana?”
            “ Kamu mau tahu apa yang bisa kamu lakukan untukku? “
            “ Iya, tentu saja.”
            “ Baiklah. Tinggalkan Jordan. Iya, tinggalkan dia untukku. Kamu bisa, ‘kan?”
            Ya, Tuhan. Apa yang baru saja dikatakan Ivana? Aku menyesal sudah memberinya satu permintaan. Mana mungkin aku meninggalkan Jordan, apalagi merelakan dia untuk Vana. Tidak, aku tak boleh… Aku tak boleh…
            “ Ivana sayang… Kamu boleh minta apa saja padaku. Tapi tolong jangan minta Jordan, ya. Karna…”
            “ Karna apa?”
            “ Karna…”
            “ Apaan, ‘sih?”
            “ Karna… Aku takkan sudi merelakan dia untukmu. Kurasa tak baik aku membiarkan orang baik seperti dia untuk bersamamu. Baillah, aku kembali ke kelas dulu. Bye, Vana…”
            Aku berlari meninggalkan Vana sendirian. Aku berharap kata-kataku itu bisa membuatnya sakit sekaligus menyadari kesalahan yang diperbuatnya dulu. Kesalahan untuk menepis ketulusanku lalu membalas dengan kekejaman yang menyakitkan.”
            Hari ini kulewati dengan biasa saja tanpa ada halangan yang berarti. Aku pulang kerumah dengan rasa lelah yang lumayan. Setelah mandi, makan malam, dan berbincang sebentar dengan mama dan papaku, aku kembali ke kamar untuk membahas soal-soal lagi. Ketika aku mulai membuka lembar demi lembar buku kumpulan soal, pikiranku dirasuki segala hal tentang Jordan. Aku mencoba menepis semuanya lalu berkonsentrasi lagi dengan soal-soal dihadapanku itu. Setelah satu paket soal selesai kulahap, maka akupun mengambil laptop kesayanganku dan mulai lagi membuka akun jejaring sosialku. Disana aku melihat ada kiriman inbox lagi dari Jordan. Aku penasaran lalu segera membuka dan membacanya.
            “ Dear, Yona…
            Good Night, princess…
            Today is a first day in our relationship. I feel so happy only if you know. I hope you felt it too. Terimakasih sudah menerimaku dalam hatimu. Tapi, ada yang ingin kuberitahu padamu. Kali ini aku ingin kamu menahanku.”
            Mataku berhenti tepat di kalimat terakhir itu. Menahannya untuk apa? Memangnya dia hendak kemana?
            “ Aku ingin kamu menahanku, karena aku akan pergi ke negeri yang jauh sekali. Sungguh, aku berharap kamu menahanku agar aku tak jadi pergi. Cukup katakan “Jangan pergi”, maka aku takkan pernah meninggalkanmu. Kumohon, karna minggu depan aku akan berangkat ke Prancis. Orangtuaku membuka cabang perusahaan kami disana. Ayah memintaku untuk mengurus segala sesuatunya sekaligus menjadi wakil Ayah. Aku juga akan melanjutkan kuliah disana. Kamu tahu universitas mana yang kupilih? Tentu saja Sorbonne, universitas impianmu. Semenjak kamu menceritakan tentang universitas itu padaku saat kita chatting dulu, aku juga terinspirasi untuk membaca buku best seller yang menceritakan seorang pemuda yang berhasil meraih cita-citanya untuk kuliah disana. Aku mencari semua informassi tentang Sorbonne di internet dan aku sungguh jatuh cinta padanya. Luar biasa, menurutku. Aku mendaftar untuk jurusan art desaign. Aku yakin kamu tahu kalau dari dulu aku memang tergila-gila pada seni rupa. Tapi sekali lagi, sungguh aku ingin kamu menahanku. Aku takut kalau nantinya aku takkan kembali lagi ke negri ini. Kumohon segeralah balas pesanku ini. Selamat malam, Tuhan memberkati.”
            Aku sungguh terkejut membaca pesan itu. Kata demi kata kubaca kembali. Aku sungguh merasakan ketakutan luar biasa kalau Jordan akan pergi jauh sekali dan seperti yang dikatakannya tadi bahwa kemungkinan besar dia takkan pernah kembali lagi. Aku kemudian berniat untuk membalas inbox-nya. Tapi belum sempat aku mengetik kata demi kata, seseorang menyapaku lewat chat box.
            “ Hei, sudah baca inbox-ku? “
            “ Jordan… :’( ”
            “ Kenapa menangis? Kamu sudah baca semuanya, ‘kan? Lalu bagaimana? Kamu membiarkan aku pergi?”
            Aku terdiam lama. Aku bimbang. Aku tahu kalau Sorbonne adalah tempat terbaik baginya untuk belajar seni. Lagipula, orangtuanya yang meminta dia untuk kesana. Apa hakku untuk menahan dia disini? Dia bukan milikku. Dia hanya pacarku. Aku sadar betul jika saja aku mengatakan jangan pergi, maka dia benar-benar tak akan pergi. Tapi, jelas saja aku sangat egois jika aku katakana itu padanya, meski dia memang mengharapkan untuk aku menahannya disini.
            “ Tidak, aku takkan menahanmu disini. Pergilah, karna bagiku itu yang terbaik buatmu. Aku takkan berlaku egois, meskipun aku memang berharap kalau kamu takkan pergi meninggalkanku. Aku percaya kalau Tuhan akan mempertemukan kita lagi jika waktunya sudah tiba. Lagipula, Sorbonne itu terlalu bagus untuk ditinggalkan. Impianku adalah menjadi salah satu mahasiswinya kelak. Ya, untuk saat ini aku relakan kamu lebih dulu menjejakkan kakimu disana. Tapi, jangan lupa untuk mengukirkan namaku di pohon impian, ya.”
            “ Pohon impian? Memangnya disana ada, ya?”
            “ Iya, pohon impian. Aku membacanya di buku itu. Apa kamu tidak membaca bagian itu, ya?”
            “ Sepertinya aku pernah membaca bagian itu, tapi mungkin aku lupa karena begitu banyaknya pekerjaan yang diberikan ayah padaku. Jangan khawatir, sesampainya aku disana namamu aku kuukir indah di pohon itu. Oh! Aku baru ingat ceritanya. Setiap mahasiswa pendatang pasti menuliskan nama orang-orang yang mereka inginkan untuk ada disana, menyusul mereka menjadi mahasiswa juga. Aku memang menginginkan kamu untuk menyusulku kesana juga, dan itu janjiku untukmu. Terimakasih sudah mengingatkanku tentang pohon impian itu.”
            “ Terimakasih. Aku percaya kalau kamu takkan lupa janjimu. Semoga aku benar-benar bisa menyusulmu kesana.”
            “ Bukan semoga, tapi pasti.”
            “ Ya, amin.”
            “ Benarkah kamu tak berniat menahanku? Aku mohon, pikirkan sekali lagi.”
            “ Iya, aku sudah memikirkannya dan aku ingin kamu meraih cita-citamu disana.”
            “ Tapi, kamu benar-benar tahu ‘kan konsekuensinya? Aku mungkin takkan kembali lagi Jikapun aku aku kembali, mungkin untuk jangka waktu yang sanagt lama bahkan bertahun-tahun. “
            “ Aku tahu. Bahkan jika aku harus menunggumu seumur hidupku, aku akan lakukan itu. Karna aku mencintaimu tulus karna aku ingin yang terbaik buatmu, bukan cinta yang harus memilikimu disampingku selamanya.”
            “ Yona…”
            “ Iya…”
            “ Aku berjanji pasti akan kembali untukmu. Bersediakah kamu menungguku untuk kembali 8 tahun lagi?”
            “ Hanya 8 tahun? Bukankah sudah kukatakan bahwa aku akan menunggumu meski harus seumur hidupku?”
            “ Iya, 8 tahun. Aku pasti akan kembali. Itulah janjiku yang kedua.”
            “ Jordan, maukah kamu berjanji satu hal lagi untukku?”
            “ Baiklah. Apa permintaanmu?”
            “ Jordan. Jika suatu saat kamu menemukan cinta sejatimu di Paris, kumohon kamu untuk jujur padaku. Jangan pernah merahasiakan apapun padaku. Karena akupun akan melakukan hal yang sama padamu seandainya aku mencintai seseorang disini selain dirimu. Tolong berjanjilah padaku, aku takkan marah padamu jika kamu mengakuinya suatu saat nanti. Dan satu lagi, cobalah merenung dalam hatimu. Ivana menyayangimu melebihi aku. Aku yakin dia punya tempat istimewa dihatimu. Aku lebih bahagia kalau wanita yang mungkin akan menggantikanku itu adalah Ivana, bukan gadis western yang menurutku tidak lebih baik dari gadis Indonesia. “
            “ Yona… Kenapa harus meminta yang sulit untuk aku tepati, ‘sih?”
            “ Karna aku yakin kalau kamu sanggup menepatinya untukku. Bisa, ‘kan?”
            “ Baiklah, akan aku tepati untukmu.”
            “ Itu janjimu yang ketiga. Cukup, jangan berjaanji apapun lagi utukku. Aku tak mau membebanimu dengan banyak hal.”
            “ Baiklah. By the way, Ivana kenapa ya? ‘Kok dari kemarin dia tidak menjawab email, inbox, chat, maupun telepon dariku, ya? Ada apa ini? Apa dia marah padaku. Jujur, aku tak sanggup melihat dia marah. Biasanya dia melakukan ini kalau sedang ngambek. Aku jadi tak tentram. Tapi, kenapa aku merasa cemas seperti ini? Aku tak pernah merasakan perasaan seperti ini sebelumnya pada Vana. “
            “ Kamu mau tahu kenapa?”
            “ Iya… Kamu bisa beritahu aku?”
            “ Karena…”
            Belum selesai aku mengetikkan kalimatku, tiba-tiba signal chat Jordan terganggu dan itu memutuskan pembicaraan kami. Aku merasakan setetes airmata jatuh dipipiku. Meskipun aku tahu kalau chat kami terputus, tapi entah mengapa jemariku terus saja mengetikkan kata demi kata itu…
            “ Karna kamu  mulai mencintainya…”

Aku tak berhak menahanmu disisiku…         
Ya, aku sama sekali tak berniat untuk menahan Jordan disisiku karna akupun sadar kalau dia bukan milikku sepenuhnya. Dia adalah hak orangtuanya, dan aku  harus mendukung segala yang terbaik untuknya meski sebenarnya aku ingin dia disisiku selamanya. Aku percaya kalau nyatanya Tuhan memang menginginkan dia kembali untukku, maka apapun yang terjadi dia pasti kembali padaku nanti.
            Malam ini aku tidur tanpa mimpi. Mungkin karna aku benar-benar kelelahan dengan segala aktitasku juga permasalahan rumit ini. Aku bangun pagi dalam keadaan sempoyongan karena kepalaku sakit sekali. Ingin rasanya aku bolos, tapi membayangkan ekspresi dan reaksi  ibuku jika tahu kalau aku membolos membuatku merinding. Aku segera bersiap-siap untuk berangkat sekolah, meski setan  malas terus saja merayuku untuk bolos.
            Di sekolah tetap saja seperti biasanya, belajar, soal, tugas, dan persiapan ujian. Aku benar-benar kehilangan waktu bermain, sungguh menyiksa. Aku mulai sering melamun dan tersenyum sendiri membayangkan situasi yang sedang kuhadapi sekarang. Tapi kenapa semuanya harus bertumpuk saat aku sedang mempersiapkan diri untuk meraih cita-citaku? Aku ingin berteriak, tapi aku lelah. Setiap hari aku selalu bertemu Ivana, tapi aku  tak lagi tersenyum, terdiam, ataupun sinis. Aku menatap semua orang dengan tatapan kosong. Bahkan teman sebangkuku mengatakan kalau akhir-akhir ini aku tampak “kacau”.
            Aku kembali harus mengalami kejadian menyedihkan ketika aku diberitahu Asha, sahabatku kalau orangtuanya menginginkan dia untuk pindah sekolah ke asrama. Aku begitu terharu mendengar apa alasan ayahnya bersikeras untuk memindahkan dia ke asrama. Ya, memang dia seusiaku. Tahun lalu saat rapor kenaikan kelas, dia dinyatakan  tinggal kelas. Dia mengurung diri dan mematikan telepon selularnya. Bahkan, akun jejaring sosialnya pun re-active. Aku tahu betapa beratnya menerima kenyataan itu, apalagi ayahnya adalah mantan guru di sekolah kami. Sungguh menyedihkan ketika aku harus melihat dia menangis saat berpamitan padaku. Aku tahu betul karakter sahabatku itu. Dia bukanlah orang yang bisa hidup terkurung. Beberapa bulan dalam waktunya menyesuaikan diri di asrama, setiap malam dia selalu mengirimkan pesan singkat tentang betapa tersiksanya dia disana, kesalahpahaman antara dia dan teman-teman barunya, juga kepala asrama yang menuduhnya melakukan perbuatan yang sama sekali tidak dilakukannya, sampai penyitaan atas segala alat komunikasinya. Menyedihkan sekali. Aku bersyukur karena berhasil sampai di tingkat akhir ini tanpa ada ganjalan yang berarti. Sungguh tahun yang sangat menyesakkan. Aku  berharap segera menyelesaikan tahun ini dengan gemilang.
            Ya, setiap hari aktivitasku selalu membosankan. Tak pernah lagi ada waktu untuk bermain atau malah sekedar untuk hangout  bersama teman-temanku. Aku pikir ini adalah memang tahapan yang ahrus aku lalui demi masa depanku. Dengan senang hati aku jalani hari-hariku. Sempat beberapa hari aku sungguh melupakan tentang status baruku bersama Jordan. Tapi, bagiku tak ada hal terpenting selain membiarkan Tuhan melukis kisahku. Aku mulai mengikhlaskan perasaanku yang menyimpan rasa ragu pada Jordan. Malam harinya seperti biasa aku bermain-main dengan akunku. Aku melihat-lihat informasi tentang universitas-universitas ternama di Indonesia. Aku ingin sekali bisa menjadi salah satu mahasiswa dari salah satu universitas itu. Selagi aku mengkhayalkan tentang masa depanku, Jordan menyapaku lewat chat box.
            “ Hey, princess..! How are you now? Long time no see and i miss you so much. What about you? Oh, i wanna ask you about something that always bothers me. I don’t know why I can feels like that. But, maybe that’s only my feeling.”
            “ Ah... Hai, aku baik-baik saja. Oke, aku takkan bertanya bagaimana kabarmu. Jelas kamu sudah memberitahuku kalau ada sesuatu yang mengganggu perasaanmu. Kamu ingin menanyakan sesuatu padaku? Ya, boleh saja. Jika aku bisa memberimu jawabannya, semoga kamu merasa lebih baik. Tapi, menurutku hal-hal yang berkaitan dengan perasaan itu justru hanya dirimu sendiri yang bisa memahaminya. Sekarang silahkan bercerita...”
            “ Hey, what happen with you? Why i feel that you’re so different now? Yona, do you still remember about our relationship now? Please behave to me as it should.”
            “ So, now what do you want from me? Jordan, I love you like you love me. But before we start this relationship, I think that you know about my personality. Aku bukanlah orang yang romantis. Aku justru merasa tak nyaman jika harus bersikap romantis. Oke, kamu memang romantis. Tapi bukankah seharusnya kamu bisa menerimaku apa adanya? ”
            “ Aku bisa menerimamu apa adanya, hanya saja saat ini aku merasa ada yang tak beres denganmu. Apa aku boleh tahu apa yang sedang terjadi padamu?”
            “ Kurang cukupkah jika kukatakan kalau aku baik-baik saja?”
            “ Ehm... Ya, itu lebih dari cukup.”
            “ Baik, terimakasih. Lalu, bagaimana dengan ceritamu tadi? Bisa kamu memulai ceritanya sekarang sebelum aku tertidur karena kelelahan?”
            “ Kamu lelah? Kamu istirahat saja, lain kali aku akan cerita.”
            “ Tidak. Aku akan terjaga dengan rasa penasaranku jika kamu tidak segera menceritakannya padaku.”
            “ Hahaha... Aku hampir lupa kalau pacarku ini adalah gadis yang punya rasa penasaran yang sangat tinggi.”
            “ Lalu? ”
            “ Baiklah aku akan ceritakan sekarang.”
            Sebenarnya tanpa ia ceritakan pun aku sudah tahu apa yang membebani pikirannya. Tentu saja semua itu soal Ivana yang bersikap aneh dan semakin aneh padanya. Dia memang takkan pernah bisa menjauh atau berada jauh dari Vana. Mereka sangat dekat seperti hati mereka terikat satu dengan yang lainnya. Aku sadar saat itu juga kalau apa yang selama ini dinamakan “cemburu buta” sedang melandaku, tapi kuupayakan juga untuk menguasai perasaanku sendiri. Jordan mulai bercerita, dan setiap kalimatnya sungguh melukaiku.
            “ Ini tentang Ivana. Ya, aku akui kalau saat ini aku merasa tak enak hati padanya. Tadi pagi aku meneleponnya dan ia mematikan teleponku. Aku mencoba mencari tahu tentang kabarnya dari jejaring sosial, tapi ternyata akunku di-block olehnya. Entah apa yang terjadi padanya. Aku merasa tak tenang. Saat ini aku merindukannya. Aku rindu dia, karna sejak dulu dia sudah kuanggap sebagai adikku sendiri. Adik perempuanku yang luar biasa. Apa dia tidak merasakan juga apa yang aku rasakan ini? Apa dia marah padaku? Lalu apa salahku? Bisakah kamu membuat semua ini lebih jelas untukku?”
            Lagi-lagi tentang Ivana yang semakin jauh darinya. Aku terdiam cukup lama. Mana mungkin aku katakan padanya kalau Ivana sungguh mencintainya. Aku larut dalam dugaan-dugaanku sendiri. Aku takut kalau sampai Jordan tahu tentang perasaan Ivana padanya lantas akan semakin menambah beban pikirannya, sementara dia harus mempersiapkan diri untuk berangkat ke Prancis minggu depan. Tapi akhirnya aku memang harus menjawab pertanyannya.
            “ Jordan. Mungkin Vana terkejut tentang apa yang terjadi pada kita berdua saat ini. Aku yakin dia juga merindukanmu. Percayalah padaku, kalau semuanya ini hanya sementara. Vana bukan orang yang tega-an, apalagi terhadapmu. Dia juga sangat menyayangimu. Mungkin dia hanya ingin fokus pada ujian-ujiannya. Seperti yang kamu tahu, tahun ini adalah tahun penentuan bagi semua pelajar kelas 3 SMA. Jadi, kamu harus memakluminya. Bisa, ‘kan? ”
            “ Oh, begitukah? Baiklah aku merasa tenang sekarang. Tapi, bukankah kamu juga kelas 3 SMA sekarang? Lalau kenapa kamu tidak melakukan hal yang sama dengannya?”
            “ Aku bukan Ivana. Jadi jangan pernah berpikir kalau aku akan melakukan apa yang Ivana lakukan. “
            “ Maaf. Aku tak bermaksud begitu. “
            “ Ya. Dimaafkan.”
            “ Hahahaa... Rasanya gaya bicaramu sudah seperti seorang pengacara saja. “
            “ Benarkah? Ya, mungkin saja suatu hari nanti aku akan menjadi pengacara.”
            “ Ya, semoga. Amin...”
            “ Jordan. “
            “ Iya, ada apa?”
            “ Bagaimana jika...”
            “ ??? “
            “ Bagaimana jika Ivana mencintaimu juga? Bagaimana jika cintanya lebih besar dari cintaku padamu? Bagaimana jika kenyataanya kamu juga mencintai Vana? “
            Aku yakin dia begitu terkejut dengan kalimat demi kalimat yang aku kirimkan padanya. Entahlah, aku sendiri tak yakin kalau jemariku yang mengetikkan kalimat-kalimat itu untuknya. Tapi, aku juga terkejut dengan tindakanku sendiri. Aku segera mematikan link chat ku, lalu bergegas sign out. Aku berharap kalau Jordan hanya menganggap itu sebagai gurauan saja.
           








Tak terbantahkan, aku cemburu buta…
Sepanjang malam aku tak bisa tidur. Sungguh aku gelisah karena perbuatanku sendiri. Dari dulu aku tak suka dengan istilah “cemburu buta”, tapi kenyatannya akulah yang mengalami itu. Hmm...
            “ Aku menganggapnya seperti adikku sendiri... Adik perempuanku yang luar biasa...”
            Sampai kapanpun aku tak akan pernah bisa mempercayai statement itu. Percaya atau tidak, seorang pria yang berkata seperti itu pasti akan melanggar sendiri kata-katanya. Tak pernah ada seorang pria yang sangat menyayangi seorang gadis seperti adiknya sendiri selain daripada adik kandungnya sendiri. Aku bisa berkata begini karena sudah berulangkali aku membuktikannya. Banyak teman-teman lelakiku yang berkata seperti itu dulu. Bahkan mereka berprinsip tak akan pernah jatuh cinta pada “adik”nya itu. Lalu, apa yang terjadi sekarang? Mereka pacaran. Saling mencintai, lebih tepatnya. Aku hanya bisa tertawa getir menyaksikan kenyataan itu.
            Dan sekarang aku mendengar statement itu lagi, kali ini bukan dari teman-temanku tapi dari pacarku sendiri. Sungguh aku tak bisa membatasi pikiranku untuk tidak menduga apapun. Apalagi aku sendiri sudah merasakan bahwa hal ini pasti akan terjadi diantara mereka. Mana ada seorang pria yang terang-terangan mengaku kalau dia merindukan sahabat pacarnya, terlebih sahabat itu adalah seorang gadis. Atas alasan apapun itu tak bisa dibenarkan. Bahkan pria itu meminta pacarnya untuk meyakinkan dirinya kalau gadis itu tak marah padanya. Permintaan apa itu?! Apa tak terlintas dipikirannya kalau yang sepantasnya dia takutkan akan tersakiti hatinya itu adalah pacarnya sendiri?
            Kenapa semuanya seperti terbalik? Sepertinya Ivana-lah yang jadi pacarnya, sementara aku ini sahabatnya. Lalu aku sendiri yang harus menetralisir hati dan pikiranku agar aku bisa memberikan pengertian pada diriku sendiri. Aku semakin yakain kalau aku harus melatih diriku sendiri untuk melapaskan Jordan perlahan-lahan dari kehidupanku, dari pikiranku, dari hatiku...
Aku adalah aku yang cuma manusia biasa dan aku takkan pernah bisa mengubah pemikiran siapapun, perasaan siapapun. Ketika aku sadar kalau Jordanku nyata-nyata mencintai sahabatku meskipun dia tak menyadarinya dan masih saja membantah, tapi aku juga seorang gadis yang tak mau memaksakan perasaannya untukku. Aku lebih memilih untuk membiarkan Jordan pergi dan menemukan cintanya yang ada dalam pribadi Ivana. Aku juga yakin kalau Vana tak pantas untuk aku sakiti. Mungkin karna akupun merasa bahwa mereka lebih dulu saling mengenal, pastilah mereka lebih dekat. Aku yakin Jordan takkan terluka hanya karna aku pergi darinya, daripada dia harus kehilangan Ivana seumur hidupnya.
Hari ini adalah hari yang sangat penting untukku, Jordan, dan mungkin juga Ivana. Jordan harus berangkat ke Prancis sore nanti. Aku berangkat ke sekolah dengan ogah-ogahan. Aku begitu lesu, seperti hidupku akan segera berakhir hanya dengan sekali jentikan jari. Ibu yang selalu memperhatikanku serta-merta menegurku...
"Sayang, kamu kenapa? Pagi-pagi 'kok sudah cemberut? Nanti cepat tua, loh... "
Akupun berusaha menutupi tampang hidup segan mati tak mau yang tersirat di wajahku dengan tersenyum kaku...
"  Ah, mama... Yona 'gak cemberut, 'kok. Ini Yona sedang tersenyum. "
" Yona, kamu anak mama. Mama yang melahirkan kamu. Mam tahu, kamu pasti punya masalah. Ayo dong, cerita ke mama. Mama akan berikan saran terbaik yang mama punya untukmu, sayang. "
" Mamaku sayang, tak terjadi masalah apapun pada putrimu yang cantik ini. Mama tenang saja, ya. Yona janji, kalau Yona punya masalah pasti 'deh share ke mama. Oke, ma... Daaahh, mama... "
Aku tetap berusaha menutupi apa yang sedang terjadi, meskipun aku sadar betul kalau mamaku ini adalah ibu yang sangat peka. Tak ada alasan apapun bagiku untuk mengelabui perasaan mama. Tapi dengan daya upayaku itu, aku berusaha yakin kalau mama takkan tahu tentang segala yang berkecamuk di dalam hati dan pikiranku saat ini. Aku bergegas berangkat ke sekolah untuk menghindari pertanyaan-pertanyaan curiga susulan yang pasti akan ditanyakan mama padaku andai saja beliau masih wajahku dalam beberapa menit yang lalu.
Aku berjalan gontai sambil kenangan tentang pertemuanku dan Jordan diputar seperti
dvd player di otakku. Aku berjalan tertunduk sampai-sampai tak menyadari kalau didepanku ada pohon mangga hasil cangkokan penjaga sekolah dan akhirnya dahiku tertempel di salah satu rantingnya. Teman-temanku tertawa, tak terkecuali Joana. Dia tersenyum, lalu mengikutiku dari belakang sementara aku yang tenggelam dalam rasa maluku berlari kecil menuju kelasku tanpa melihat kanan-kiri lagi. Semua orang memperbincangkan kejadian nyeleneh itu. Sungguh memalukan!
Tapi, bagiku yang lebih memalukan adalah kalimat demi kalimat yang terucap dihatiku. Suara itu terdengar seperti hendak memojokkanku...
" Hei, Yona! Betapa bodohnya kamu kalau melepaskan Jordan hanya untuk seorang Ivana. Kenapa, Yona? Kamu seperti pecundang kalau kamu biarkan Ivana merebut Jordan darimu! Hahaha... Dasar kamu pecundang...!!!"
Argghhh...! Diaaammm!! Apa-apaan ini?! Kenapa aku harus begini? Apa yang harus aku lakukan? Aku tak mungkin bisa hidup tenang kalau keadaannya seperti ini.
Aku bingung dan tenggelam dalam perasaanku. Aku membelokkan langkahku, kali ini aku memilih untuk menuju ke toilet. Aku memandangi wajahku yang terlihat kacau sekali di depan cermin washtaffel. Aku berusah menampar-nampar wajahku sendiri lalu aku membasuih wajahku dengan air, berharap semuanya ini hanya mimpi. Tiba-tiba ada yang meneepuk pundakku. Aku yakin kalau orang itu pastilah Joana, karena sedari tadi memang sialah yang membuntutiku.
" Hai, cantik...! Kamu kenapa? Tadi itu benar-benar lucu... Ups...! Maaf.... Aku tak bermaksud menertawakanmu, sayang. Tapi maaf, aku tak bisa mencegah teman-teman menertawakanmu. Sekali lagi maaf, ya."
" Tak apa, Jona. Santai saja, ya. Aku tidak marah, 'kok.  Terimakasih karna sudah peduli padaku. I really appreciate it, dear..."
" Benarkah kamu tak apa? Lalu kenapa kamu terlihat begitu kacau? Aku tak pernah melihat Yona yang seperti ini sebelumnya. Yohana yang kukenal adalah gadis yang ceria, cuek, dan tak pernah sendu. Pasti ada sesuatu yang membuatmu seperti ini. Ayo dong cerita, na."
" Joana, maaf aku 'gak bisa cerita sekarang. Aku harap kamu mengerti. Nanti kalau saatnya tepat aku pasti cerita. Bisa, 'kan?"
"Ya, baiklah. Aku percaya ada beberapa hal pribadi yang orang lain tidak perlu tahu. Maafkan aku, ya. Sekarang aku temani kamu ke kelas, ya."
"Iya, ayo kita ke kelas. By the way, terimakasih karna kamu sudah pengertian."
"Iya, dong. Kita 'kan sahabat."
Kami pun berjalan bersama menuju kelas masing-masing. Aku mencoba tetap terlihat wajar. Tapi, memang aku bukan orang yang bisa menyembunyikan keadaan. Aku tetap saja membuat teman-temanku menggodaku karena benar-benar terlihat “risau”. Saat bel istirahat berbunyi, aku segera menuju ke perpustakaan. Tadinya aku berniat untuk membaca koran disana. Tapi saat aku melintas di depan kelas Ivana, aku melihat namanya dicantumkan di kaca jendela kelasnya, dengan catatan bahwa dia absen hari ini. Pikiranku langsung melayang jauh. Aku tahu kalau hari ini Ivana pasti mengurung diri di kamarnya sambil menangis tersedu-sedu. Aku geleng-geleng kepala begitu menyadari kalau aku ini tak pantas menduga-duga seperti itu. Aku mengurungkan niat menuju perpustakaan dan langsung saja kembali ke kelas untuk menyelesaikan 2 pelajaran terakhir di kelas hari ini. Kebetulan hari ini kami pulang lebih awal, maka aku tak perlu melanggar prinsipku untuk tidak membolos.
Pukul 1siang, aku segera memacu motorku di jalan raya. Aku mengemudi sambil melamun, sehingga aku tak sadar kalau bandara hanya tinggal beberapa meter lagi. Aku mencari tempat parkir yang aman dan nyaman. Ya, memang begitulah susahnya apabila kita mengendarai sepeda motor. Sulit sekali mencari tempat parkir. Aku begitu takut kalau-kalau aku takkan bisa melihat atau bahkan memeluk sosok yang mungkin takkan kutemui lagi selamanya. Aku begitu berantakan, bermandikan keringat hingga seragamku basah kuyup. Aku berlari sekencang mungkin menuju pintu keberangkatan internasional. Jordan tak langsung berangkat menuju Prancis. Dia lebih dulu transit di Australia, membereskan tugas-tugasnya disana, lalu berangkat langsung ke Prancis dan memulai kelas barunya di Sorbonne.
Aku sampai di depan pintu keberangkatan dan semua mata memandangku. Aku tahu apa yang membuat mereka memandang aneh begitu. Jelas saja, karna aku masih mengenakan seragam, berantakan, dan kebingungan. Tapi, tanpa menghiraukan mereka aku terus saja memalingkan pandanganku mengitari setiap sisi yang ada disitu dan aku tak menemukan Jordanku. Aku bersandar di tembok yang ada didekatku. Aku yakin kalau Jordan pasti sudah berangkat, dan mungkin saja dia merasa kecewa padaku karna aku tak menemuinya sebelum dia pergi. Aku terduduk lesu sambil tetes demi tetes airmata membasahi pipiku bersama tetesan keringat yang membuatnya samar-samar. Aku telah kehilangan dia.
Satu jam lebih aku menyesali diriku, akupun menyadari kalau aku takkan bisa menahan kehendak Tuhan. DIA pasti tahu apa yang terbaik untukku. Mungkin inilah yang dinamakan tak berjodoh. Saat aku hendak bangkit, sekali lagi aku memalingkan pandanganku ke arah pintu besar itu. Kali ini aku tak berpaling dari pandanganku. Sosok yang kunanti sedari tadi telah berdiri dengan gagahnya disana. Tapi, kali ini diluar dugaanku. Dia tidak sendiri, tapi bersama sosok lain yang aku yakini kalau sosok itu pasti seorang gadis. Aku lebih terkejut lagi ketika aku memandang gadis itu lebih dalam lagi. Dialah Ivana, gadis yang tadinya kukira sedang menangis tersedu-sedu di kamarnya. Mereka bergandengan tangan, dekat sekali. Aku melihat sesekali Ivana menyandarkan kepalanya ke lengan Jordan. Maklumlah, karena Jordan memang berpostur tinggi. Aku bisa menguasai diri hingga Ivana mendaratkan ciuman singkat dipipi Jordan dan dibalas belaian sayang dikepala Ivana. Aku tetap saja meyakinkan diriku kalau Jordan memang menyayangi Ivana sebagai adiknya, meski kurasakan kalau aku sedang membohongi diriku sendiri. Setelah semua kejadian itu, Ivana pergi dan melambaikan tangannya dari kaca mobilnya, dibalas Jordan dengan lambaian tangan ditambah tatapannya yang terus melekat hingga Vana beserta mobilnya tak tampak lagi.
Aku tetap berdiri ditempatku sambil terus menyaksikan apa yang selanjutnya dilakukan Jordan. Tadinya aku berpikir kalau dia akan segera masuk dan melakukan check in, lalu bersiap untuk keberangkatannya. Tapi, dia bukannya masuk dan melakukan seperti yang kupikirkan. Dia berjalan maju, semakin dekat ke arahku dan cukup membuatku gugup. Dia berjalan lagi ke arah pintu, begitulah terus-menerus hingga akhirnya dia seperti benar-benar akan berangkat dan berhenti menunggu. Entah mengapa, hatiku berkata bahwa dia memang sedang menungguku hingga tak kusadari suaraku keluar dari bibirku dan mengucapkan apa yang ada dihatiku yang membuat sosok itu langsung berbalik ke arah datangnya suara itu.
“ Jordan...”
“ Yona...?! Kamu darimana saja? Aku menunggumu daritadi. Aku cemas karena kamu tak datang.”
“ Maaf karna aku terlambat.  Aku harus berlomba dengan waktu. Bahkan aku berpikir kalau kamu sudah berangkat.”
“ Belum. Aku masih disini, menunggumu. Syukurlah kalau kamu selamat sampai disini meskipun aku yakin kalau kamu pasti mengemudi dengan kecepatan maksimum. Kenapa kamu terlihat begitu kacau? Maaf, tapi aku tak pernah melihatmu seperti ini. Ada yang ingin kamu katakan padaku?”
Akupun terdiam dan menggeleng...
“ Benarkah tak ada? Kumohon katakan segera, 10 menit lagi aku berangkat.”
Aku tetap menggeleng dan terus saja terdiam. Aku hanya memandangi wajahnya tanpa berkedip. Mungkin hatiku belum bisa merelakan dia pergi jauh. Tapi pikiranku meyakinkan kalau aku harus bisa merelakan dia untuk mengejar cita-citanya, setidaknya hanya itu yang bisa membuatku melupakan rasa cemburu karena apa yang kusaksikan beberapa menit yang lalu antara Jordan dan Ivana.
“ Aku pikir ada sesuatu yang penting ingin kamu sampaikan padaku. Tapi jika kamu berkata tidak, apa yang bisa aku lakukan untuk membuatmu bicara. Baiklah, sekarang aku harus masuk ke pesawat. Saatnya untuk pamit. Yona, terlalu banyak hal indah dan memorable diantara kita meskipun kita baru saja saling mengenal dan berpacaran. Tapi, yakinilah kalau aku takkan melupakanmu. Aku pasti kembali untukmu. Jangan berhenti menantiku, seperti aku akan tetap menanti saat-saat kepulanganku nanti meskipun akan sangat lama aku menunggu. Tadi Ivana datang, dia memberiku sebuah kalung liontin berisi fotonya di salah satu sisi. Dia memintaku untuk memasang fotoku di sisi yang satunya lagi. Aku bahagia karna dia akan tetap jadi Ivanaku, adikku yang hebat. Jangan pernah tinggalkan dia untukku, aku mohon. “
Aku tak menyangka. Diluar dugaanku, ternyata Jordan jujur dan memberitahuku kalau gadis yang tadi itu memang Vana. Tapi, sulit sekali bagiku untuk melaksanakan permintaannya. Aku tak tahu harus berbuat dan berkata apa, lantas hanya mengangguk dan tertunduk lesu lagi.
“ Yona, aku berharap kamu mau bicara. Kamu tetap diam dan saat ini aku menyesal karna harus pergi jauh darimu. Andai saja aku bisa mengubah keputusan ayahku, tapi aku hanya seorang anak yang punya cita-cita. Kumohon Yona, bicaralah.”
Aku tetap tak bicara tapi aku mengarahkan pandanganku padanya lagi. Kali ini aku menangis dan memunggunginya karna tak bisa menahan gejolak di hatiku dan lambungku yang seolah akan meledak jika saja aku mulai bicara sepatah kata. Dia menyentuh bahuku, lalu mengecup rambutku dari belakang dan berbisik...
“ Aku pergi...”
Tangannya berpindah menuju jemariku, menggenggamnya erat dan terus berjalan hingga jemariku tak lagi merasakan jemarinya. Aku menangis dan akhirnya...
“ Jordan...”
Dia langsung berpaling padaku dan sedikit membungkukkan tubuhnya. Refleks saja, dan aku langsung berlari ke arahnya. Aku tak pernah terpikir untuk memeluknya, tapi memang ada yang harus kukatakan padanya.
“ Jordan, aku tak pernah merasa begitu dicintai seperti ini. Cinta pertamaku pergi jauh tanpa pernah memalingkan pandangannya padaku. Dia terus saja menjauh dan membuatku begitu sakit. Aku begitu menyukainya sampai aku tak bisa melihat cinta lain disekitarku hingga aku berjumpa denganmu. Aku tak tahu apa yang harus kulakukan, saat tahu bahwa sahabatku Ivana juga mencintaimu. Seringkali aku memperhatikanmu kalau cintamu memang hanya untukny, bukan buatku. Aku selalu berdoa agar aku tak salah jalan dan membunuh cinta diantara kalian. Baiklah kalau kamu bersikeras untuk tetap bersamaku. Aku yakin suatu saat nanti kamu pasti menyadarinya. Kalau saat itu tiba, tolong beritahu aku. Aku takkan pernah marah apalagi sampai tega menyakiti Ivana dan dendam padanya. Seperti janji kita dulu  jika suatu saat diantara kita ada yang menemukan cinta lain yang lebih baik dari sebelumnya, silahkan jujur. Aku yakin kalau Tuhan punya cerita cinta yang luar biasa untuk setiap hambaNya. Benar, kan? Jadi, jangan terbeban untuk terus mencoba jadi setia. Jika kamu menemukan cinta sejatimu nanti, jaga dia dan berkomitmen-lah dengannya. Aku turut bahagia untuk itu. Akupun akan jujur padamu dengan segala yang terjadi padaku nantinya sepeninggalnya kamu dari negara ini. Aku takkan berhenti menunggumu, pulanglah lebih cepat agar hatiku tak beku dan cintaku padamu pergi ke hati yang lain. Aku bukanlah manusia yang bisa meramalkan masa depanku. Jadi, mengertilah. Dan janji-janjimu, jngan paksakan diri untuk mewujudkan semuanya. Maaf karna aku membuatmu terlambat.“
“ Tak apa, Yona. Aku bahagia mendengar suaramu itu. Memang aku kurang suka kalau kamu terus-menerus menyinggung tentang perasaan Ivana untukku. Mungkin saat ini aku memang tidak menyadari apapun selain cintaku padamu yang begitu besar. Aku tahu kalau dihatimu tersimpan rasa ragu yang begitu besar hingga membuatmu terluka. Terimakasih sudah melupakan cinta pertamamu untukku. Aku percaya memang hanya ada aku dihatimu. Aku takkan mengingkari janjiku padamu, akan kuwujudkan semuanya hanya untukmu. Selalulah bawa aku dalam doamu. Biarkan Tuhan yang menentukan alur kisah kita. Jangan berhenti mencintaiku. Oh, ya. Jangan lupa beli My Sister’s Keeper. Baca dan nikmati kisahnya. Aku tahu kalau kamu punya hobi membaca true story. Nanti aku akan menanyakan isinya padamu, untuk mengetahui apa kamu benar-benar membacanya atau tidak. Sekarang aku benar-benar harus pergi, maafkan aku. “
Kali ini aku membiarkan dia memelukku erat sekali, aku merasakan airmatanya menetes di bahuku hangat sekali. Dia tak melepaskan rangkulannya andai saja aku tidak mendorongnya agar segera berangkat. Aku mendengar namanya disebutkan berkali-kali karna hanya tinggal dia yang belum ada di pesawat. Jordan pun pergi. Aku ikhlas melepaskannya dan entah mengapa kali ini aku tak merasakan kesedihan tapi kelegaan. Aku menuju ke parkiran lalu kembali melaju dengan motorku. Saat aku berada di gerbang keluar bandara, tak kusadari aku menggumam...
“ Pergilah, Jordan.... Pergilah cintaku... Biarkan Tuhan yang menentukan alur kisah kita...”

Memang bukan untukku…
"Aku takkan bertahan bila tak teryakinkan,
 sesungguhnya cintaku memang hanya untukmu...
Sungguh 'ku tak menahan bila jalan suratan,
 menuliskan dirimu memang bukan untukku selamanya...
Kadang aku lelah menantimu pastikan cinta untukku..."
Bait lagu inilah yang terdengar saat aku mendengarkan siaran radio favoritku malam ini. Aku tersentak karena kata-katanya persis sekali dengan apa yang sedang aku rasakan, benci dan tersakiti oleh perasaanku sendiri. Aku terdiam dan melamun hingga aku tak sadar kalau lampu tiba-tiba padam. Dalam kegelapan kamarku aku tetap terdiam diatas ranjangku sambil memandangi langit yang terang benderang karna bermandikan cahaya bulan dan bintang itu dari jendela kamarku. Aku menunggu kabar dari Jordan, apakah dia sudah sampai ataukah malah delay.
Sampai pagi ini, tidak ada kabar apapun darinya, hingga aku berpikir kalau dia mungkin sudah sampai dan sedang membereskan urusannya yang lebih penting. Aku menjalani hari-hariku dengan biasa saja, berusaha tidak mengingat tentang dia dan tanpa terasa aku sampai di ujung masa-masa SMA. Ya. Ujian Nasional akan segera tiba, disusul ujian-ujian akhir lainnya yang hanya mendengar namanya saja rasanya aku dan teman-temanku hendak hengkang saja dari sekolah ini. Namun, aku sadar kalau ini adalah bagian dari perjalananku yang harus aku taklukkan. Aku semakin intens belajar dan berlatih, karena ujian-ujian menuju gerbang Perguruan Tinggi bergengsi juga segera menyusul untuk mencari bibit-bibit unggul calon mahasiswa mereka.
Ivana, yang aku tahu sudah mendaftarkan dirinya untuk ikut berbagai seleksi perguruan tinggi favorit sudah sulit untuk ditemui. Aku bahkan seringkali mendapat informasi kalau dia lebih banyak absen dalam beberapa minggu ini. Aku tahu, mungkin saat ini dia sedang mempersiapkan dirinya untuk mengikuti ujian di universitas favoritnya di kota kembang, Bandung. Meskipun hubungan kami sedang tak baik, aku tetap berdoa dan berharap agar Ivana bisa menyelesaikan ujiannya dengan baik dan diterima disana di jurusan impiannya. Sejak dulu dia ingin sekali menjadi arsitek. Aku tahu itu tidak mudah. Mungkin itulah yang menyebabkan Ivana lebih suka bergaul dengan teman-teman sekelasnya agar mereka bisa membahas soal-soal jurusan ilmu alam. Aku belajar untuk menerima itu, karena kami memang beda pilihan. Sementara aku tetap harap-harap cemas menunggu musim ujianku sendiri.
Dalam waktu menunggu itu, hubunganku dengan teman-teman baru Ivana mulai memanas lagi. Aku tak pernah tahu kapan api itu mulai menyala lagi, tapi yang jelas terjadi adalah kami mulai saling sindir. Aku ingat saat aku hendak menemui Joana di kelasnya, aku terpaksa harus melewati kelas Vana. Aku berpapasan dengan Cindy, Riza dan Anas. Mereka menegurku dengan gaya yang arogan...
" Hai, Yona. Bagaimana kabar Jordan?"
" Ya. Dia pasti baik-baik saja."
"Hahaha... Lucu sekali. Masa kamu tak tahu dengan pasti kabar pacarmu sendiri? Sadarkah kamu kalau sudah satu minggu dia meninggalkan negara ini? "
" Ya. Mungkin dia sedang sibuk sampai dia tak sempat memberitahukan kabarnya padaku. Beberapa hari lagi dia pasti mengabariku."
Aku menjawab pertanyaan mereka dengan perasaan aneh. Aku heran, Anas bisa mengucapkan kalimat-kalimat yang membuatku merasa kalu mereka tak benar-benar berniat bertanya, tapi hanya sekedar mengusiliku. Aku hendak pergi meninggalkan mereka, sampai tiba-tiba salah seorang dari mereka melontarkan kalimat yang sangat mengejutkan aku.
" Heran ya, teman-teman. Bagaimana mungkin seorang pacar bisa tak tahu bagaimana keadaan pacarnya sendiri dan berharap akan dihubungi beberapa hari lagi, sementara sahabatnya mengetahui dengan pasti kalau pacarnya saat ini sudah berada di Prancis 4hari setelah dia tiba di Australia?! Sepertinya mereka tak benar-benar pacaran. sungguh lucu dan menghibur, ya..."
Apa???! Jordan sudah berada di Prancis sekarang? Kenapa dia tidak memberitahu aku? Apa yang terjadi padanya? Ivana tahu kalau dia sudah tiba di Prancis bahkan memberitahukan itu kepada teman-temannya, sementara aku masih berpikir kalau dia baru saja sampai di Australia dan belum berangkat ke Prancis. Lagi-lagi aku hampir saja terjerat oleh perasaanku sendiri. Aku yakin pasti ada yang tak beres dengan keadaan ini. Aku tetap meyakinkan diriku kalau Jordan takkan menyakitiku. Aku tetap saja menemui Joana dan mengajaknya sarapan di kantin. Kami menghabiskan waktu dengan bercannda dan tak sedikitpun kesedihan tersirat di wajahku.
Aku menyelesaikan hariku dengan perasaan biasa saja. Begitu seriusnya aku mengejar cita-cita, sampai aku lupa dengan kejadian tadi pagi di sekolah. Aku bahkan bisa tidur dengan begitu nyenyaknya tanpa mimpi. Kalau dipikir-pikir, sepertinya memang aku tak lagi mencintai Jordan tapi aku tak tahu apa sebabnya.
Hari ini aku bangun lebih awal dan terlihat lebih segar. Ayah dan ibuku bilang kalau aku tampak seperti baru saja terlepas dari beban berat. Aku percaya pada mereka, karna memang selama ini aku sedang berbeban berat. Sarapan pagi ini kulahap dengan cepat dan aku membuat ayah dan ibuku saling bertatap heran. Aku tak peduli, yang penting aku ingin menikmati hari ini.
Saat di kelas, tiba-tiba aku berpikir untuk jalan-jalan ke toko buku siang nanti. Kebetulan hari ini tak ada jadwal bimbingan dan aku pulang cepat. Aku langsung menghabur kwluar kelas dan lekas-lekas melaju menuju toko buku favorit para pelajar itu.
Sesampainya disana, aku langsung menuju rak buku-buku biografi orang-orang ternama di dunia. Aku memang manusia yang penuh mimpi, berharap suatu saat aku bisa menjadi seperti tokoh-tokoh di buku itu. Meskipun aku suka membaca buku genre itu, tapi tak sekalipun aku berniat membelinya. Maklum saja, buku jenis itu pasti harganya sangat mahal dan beruntunglah aku karna toko buku itu membolehkan pengunjungnya untuk sekedar membaca tanpa harus membeli buku yang dibacanya. Saat aku hendak menuju rak-rak buku rohani, mataku langsung tertuju pada sebuah novel remaja. Judulnya begitu unik sampai menggelitikku untuk menyentuh dan membacanya. Awalnya aku hanya membaca sinopsisnya. Jelas saja dari sinopsis itu, persis sekali seperti apa yang terjadi padaku, Jordan, dan Ivana. Ya, kami sedang terbelenggu dalam ikatan cinta segitiga. Dalam buku itu, dikisahkan betapa harus ada yang dikorbankan dalam cinta jenis ini. Tentu saja pada akhirnya seorang harus memilih diantara dua, dan dalam hali ini Jordan-lah yang harus memilih.
Mataku berkaca-kaca membaca beberapa lembarannya. Mengharukan dan membuatku merasa siap andai saja aku yang harus menyingkir. Hal yang berbeda adalah dalam novel itu tokoh prianya menyadari betul rasa cintanya pada si gadis yang memang sahabatnya sejak kecil. Mereka saling menyayangi tanpa disadari oleh si gadis, hingga tiba-tiba muncullah tokoh gadis lain yang ternyata bersahabat dengan si gadis yang pertama. Lalu gadis itu jatuh cinta pada si pria. Sementara yang terjadi pada hubungan kami adalah Jordan tak pernah menyadari perasaannya pada Vana dan selalu berusaha membantahnya. Padahal, aku tahu betul bagaimana Jordan tak penah bisa berada jauh dari Ivana. Sungguh bertolak belakang. Namun yang pasti adalah harus ada yang menyingkir dan pergi jauh suatu saat nanti. Aku akhirnya membeli novel itu dan segera pulang karena hari sudah petang dan alam menunjukkan gejala hujan badai.
Aku sampai di rumah pukul 6sore dan aku segera berbenah diri, dilanjutkan dengan duduk santai di teras kamarku. Aku memandang-mandang indahnya pekarangan kami sampai tak sadar kalau handphone-ku berdering. Beberapa kali berdering, akhirnya aku tersentak kaget. Saat aku hendak menjawabnya, panggilan itu berhenti. Mungkin karna aku terlalu lama meresponnya. Aku melihat ternyata sudah 10 kali  nomor itu memanggilku. Aku sama sekali tak mengenalinya, tapi kusadari kalau nomor itu bukanlah nomor yang "wajar". Aku ingat dulu Jordan menghubungiku dengan nomor yang aneh juga. Mungkin karena beberapa kode wilayah di bagian awalnya. Aku menunggu dengan cemas seorang dibalik nomor itu menghubungiku lagi, tapi tak jua terjadi. Saat aku hendak berbaring, harapanku terwujud. Dia menghubungiku lagi. Kali ini tanpa membuang waktu, aku langsung menjawab...
" Halo, selamat sore. Dengan Yona disini. "
" Ya. Selamat pagi. Senang bisa mendengar suaramu lagi."
Selamat pagi? Pasti si penelepon sedang berada di luar negeri. Ini membuatku semakin yakin kalau dia memang Jordan yang kabarnya kunanti sejak keberangkatannya beberapa minggu yang lalu. Serta-merta aku menjawabnya. Tapi, tiba-tiba telepon itu terputus. Dan aku segera menyalakan laptopku dan kemudian online. Aku yakin kalau Jordan pasti sedang online. Memang benar. Dia mengirim pesan chat padaku dan mengajakku untuk webcam. Akupun menerima panggilan darinya, dan kami mulai terlibat obrolan.
" Kamu sudah sampai, Jordan. Itu Sorbonne, kan? Kemana saja kamu selama ini? Mengapa tak mengabari aku? Aku cemas. Terlebih saat ini marak sekali kecelakaan penerbangan. "
" Maafkan aku. Banyak sekali yang harus aku bereskan sampai aku lupa mengabarimu. Aku mengerti ketakutanmu. Tapi, sebenarnya aku sudah meminta pada Ivana untuk memberitahukan padamu kalau aku tak lama di Australi. Apa dia tidak memberitahumu? "
"Mungkin dia tak bermaksud untuk tidak memberitahu padaku. Aku lihat akhir-akhir ini dia cukup sibuk dengan persiapan ujian akhir dan tes-tes nya nanti. Saat ini dia sedang berada di Bandung. Semoga saja ujiannya berjalan lancar. Aku tak tahu harus bersikap apa untuk saat ini. Tapi yang aku yakini adalah aku tetap percaya padamu."
" Oh, iya. By the way, boleh aku tahu kamu berencana kuliah dmna dan jurusan apa yang akan kamu pilih?"
" Hahaha... Kalau aku 'sih sejak dulu ingin sekali kuliah di Perguruan Tinggi Negeri di Jakarta, aku tertarik pada bidang hukum. Hmm... Entahlah, jika aku tak lulus dsna mungkin aku mencoba juga di universitas negeri di kota ini. Aku pikir tak ada salahnya untuk mencoba. Dimanapun nantinya aku berada, aku yakin bahwa itulah yang Tuhan ijinkan terjadi untukku."
"Oh, ya? Ternyata kamu dan Ivana tak jauh beda, ya. Kalian sama-sama ingin kuliah di universitas negeri yang terkemuka di bidangnya. Second choice kalian juga sama, universitas negeri disana. Aku heran, kenapa orang-orang Indonesia selalu berpikiran untuk lulus di universitas yang itu-itu saja. Kenapa jarang sekali orang Indonesia yang berkeinginan untuk memulai masa depannya di luar negeri. Ivana pernah bilang, andai bisa dia ingin sekali kuliah di Oxford. Bagaimana denganmu, Yona? "
" Yah... Aku ingin sekali kuliah hukum di Harvard. Lucu sekali cita-citaku, ya? Tapi yang akan jadi impian seumur hidupku adalah bisa menjadi salah satu mahasiswi di Sorbonne. Hmm... Andai saja bisa. Tapi aku tahu kalau itu sangat sulit untuk dicapai. "
" Kenapa sulit? Bukankah memang banyak jalan menuju Roma? Kamu masih punya banyak harapan, 'kan? Masih yakin kalau Tuhan mendengar setiap doamu, 'kan? Aku juga yakin kalau kamu pasti bisa."
" Iya. Terimakasih buat kepercayaanmu padaku. Tuhan pasti mendengarkan doa kita. Oh, iya. Bagaimana kabarmu disana?"
Kami berbincang santai, hingga dia bilang kalau namaku sudah diukirnya di pohon impian. Aku senang sekali, karena itu adalah bukti betapa dia ingin agar aku bisa meraih impianku untuk kuliah disana kelak. Dia juga memintaku untuk percaya padanya karena dia takut mengecewakanku. Aku sebenarnya tak pernah takut untuk dikecewakan olehnya. Karena gadis manapun yang mengalami apa yang aku alami saat ini pasti merasa sudah dikecewakan. Aku mulai curiga pada hatiku sendiri, sepertinya saat ini aku hanya menganggapnya sebagai sahabatku.
Selesai perbincangan kami itu, aku memikirkan lagi apa yang akan aku lakukan ketika tiba saatnya kuliah. Aku merasa sangat nyaman berbincang dengannya, tapi tak kusangka dia serius dengan janji-janji yang pernah diucapkannya. Aku malah menginginkan agar dia lupa saja, hingga aku bisa dengan mudah menjauh darinya tanpa menyakiti hatinya. Aku merasakan tubuhku terasa ngilu, pertanda penyakit umum akan segera menghampiriku. Ya, suhu tubuhku tinggi sekali. Aku tak berani memberitahukannya pada ibu, karena aku tahu kalau reaksi beliau akan sangat berlebihan dan membuatku merasa tak enak hati. Aku memaksa diriku untuk tidur meringkuk dibalik selimut super tebal lengkap dengan jaket tebalku. Bisa dibayangkan begitu derasnya peluh yang mengucur, aku berharap besok bisa kembali ke sekolah.
Benar saja, hari ini aku sembuh bahkan lebih bersemangat lagi untuk melewati hariku.Aku tak sabar mengakhiri masa SMA ini. Impian tentang masa-masa indah di bangku perkuliahan mulai membanjiri otakku. Semakin hari semangatku semakin tinggi dan aku tak menyadari hingga detik-detik menjelang ujian nasional tiba.

Kelulusanku… Hadiah terindah persembahanku…
Aku berharap benar-benar bisa fokus dan berpikir tenang untuk ujian-ujianku ketika tiba-tiba saja hubunganku dan Ivana kembali memanas. Kali ini juga karena perang status di jejaring sosial (lagi). Dia kembali mengajakku untuk bertemu di kantin dan membahas masalah ini. Dia menyudutkanku benar-benar menyudutkan aku, sementara tiga orang teman barunya itu tertawa-tawa dari balkon kelasnya yang menghadap ke kantin itu. Sakit rasanya, tapi rasa sayangku melebihi kedongkolanku. Aku sampaikan semua hal yang ajdi kekesalanku pada teman-temannya termasuk pengaduan dari salah seorang kerabat Vana yang merasakan kalau Vana mendapat pengaruh tak baik dari teman-temannya itu. Tapi Ivana tetaplah Ivana meski aku berusaha sekuat tenagaku dengan kucuran air mata yang tak henti. Cukup angkuh dia memintaku untuk tidak lagi menggangu kehidupannya karena dia tak ingin pikirannya terganggu dalam menjalani ujian-ujiannya. Dan akupun tak lagi berharap yang lebih baik dari itu. Aku hanya teringat pesan Jordan padaku, lalu mengurungkan niat untuk membenci Ivana selamanya. Kulewati hari tanpa mau lagi memikirkan orang-orang yang aku tahu betul kalau mereka sendiri enggan memikirkanku.
Hari kemarin telah berlalu, hari ini adalah waktunya ujian nasional. Aku sungguh merasa gentar walaupun aku tahu kalau soal-soal nanti takkan sesulit apa yang dipikirkan banyak orang. Tapi, bagiku rasa cemas itu wajar supaya kita tidak terlalu percaya diri nantinya saat ujian berlangsung sehingga jawaba-jawaban yang kita berikan teruji ketepatannya.
Ya, hari pertama Ujian Nasional sudah berakhir, dua mata pelajaran bagiku tak begitu ada halangan yang berarti. Aku berharap hari-hari berikutnya juga bisa aku dan semua temanku jalani dengan mudah tanpa halangan yang berarti. Aku lalu kembali membahas soal-soal yang diberikan oleh tentor pembimbing dan guru-guruku selama ini. Aku berharap perlengkapan perangku cukup bahkan berlebih. Aku belajar hingga larut, hanya waktu makan saja yang tak terlewatkan. Ibu tiba-tiba masuk saat pikiranku mulai berliku-liku menjauhi alam normalku. Aku tiba-tiba teringat Jordan sekaligus terkaget dengan kedatangan ibu.
" Yona sayang, serius amat belajarnya? Mama yakin kamu pasti mendapatkan nilai yang sangat memuaskan nanti. "
"Ah, mama. Jangan begitu, dong. Yona jadi merasa nggak enak sama mama. Doakanlah supaya putrimu ini bisa meraih nilai yang baik nanti, dan yang terutama adalah lulus."
"Mama bangga sama kamu, sayang. Tapi jangan terlalu memaksakan dirimu, nanti kamu sakit dan akhirnya tidak bisa mengikuti ujian berikutnya hingga akhir. Sekarang waktunya makan malam. Kami tunggu di ruang makan, ya."
Mama menegecup keningku. Aku merasakan semangatku yang tadinya merapuh seperti tiba-tiba terpacu oleh kekuatan dari dalam diriku sendiri. Mataku tiba-tiba terang benderang dan aku bergegas menuju ruang makan. Dari pintu kamar aku sudah mencium harumnya aroma masakan ibuku. Ibuku memang koki terbaik yang pernah ada. Aku heran juga kenapa sampai sekarang pun aku tak kunjung mahir memasak, padahal ibuku sungguh luar biasa. Malu juga rasanya saat ibu menyindirku lembut setiap kali aku mengintip beliau yang sedang memasak di dapur tapi hanya dalam beberapa menit. Diam-diam aku bertekad saat liburan panjang nanti aku akan habis-habisan belajar memasak bersama ibuku.
Sesampainya di meja makan aku langsung mengambil posisi duduk tepat disamping ayah. Bisa dibilang aku memang sangat dekat dengan ayahku. Sejak kecil aku suka bermanja bersama ayah. Maklum sajalah setelah 8tahun jadi anak bungsu, adikku laki-laki satu-satunya lahir. Saat itulah aku merasakan kasih sayang ibu mulai terbagi, tapi ayahku tetap saja menyayangiku dan memanjakanku.
Ayah yang baru saja pulang dan berbenah, menegurku lembut...
"Bagaimana kabarmu hari ini, nak? Lalu bagaimana dengan ujianmu tadi? Mudahkah? Atau malah sangat sulit seperti apa yang dikatakan anak teman-teman ayah di kantor tentang keluhan anak-anak mereka? Ayah yakin kamu bisa menyelesaikan semua soal-soal itu dengan baik. Ayah yakin kalau kamu takkan mengecewakan kami, sayang. Sekarang ayo kite berdoa lalu menikmati rejeki yang tersedia ini, masakan mama yang lezat luar biasa."
Kami memulai makan malam hari ini dengan doa, lalu dengan lahapnya menikmati masakan ibuku. Ibu tersenyum menyaksikan racikan tangannya habis tak besisa. Aku bangga melihat orangtuaku. Ayah selalu memuji ibuku, dan ibu tak pernah menyepelekan ayah. Sungguh keluarga bahagia yang aku ingin takkan pernah berakhir.
Selesai makan malam, aku kembali melanjutkan pembahasan soal-soal. Saat aku merasa lelah, lalu aku berbaring dan berkhayal lagi tentang masa depanku. Aku sungguh ingin menjadi seorang psikolog, meski aku tahu pasti kalau di kota ini tak ada jurusan psikologi yang menerima golongan IPS sebagai calon mahasiswanya. Mungkin aku merasa kecewa, tapi juga yakin bahwa Tuhan punya rencana yang sungguh luar biasa dalam kehidupanku. Aku meyakini bahwa DIA pasti tempatkan aku dimana disitulah aku bisa berkarya sepenuh hati. Kata-kata motivasi yang selalu kuingat dan terngiang ditelingaku setiap kali aku mengkhayalkan masa depanku dan cita-citaku adalah "Dibayarlah untuk bermain, jangan bekerja hanya untuk dibayar..."
Aku senang karena hari ini berhasil kulewati dengan baik. Besok dan beberapa hari lagi akan tetap menjadi saat-saat yang mendebarkan. Aku mulai mengantuk dan ingin memejamkan mata. Aku berdoa memasrahkan diri pada Tuhanku agar meskipun mungkin malam ini adalah malam terakhirku, aku bisa mengakhirinya dengan baik. Dalam doaku aku teringat pada Jordan. Lalu aku berkata padaNya, " Selamat malam, Tuhan...Jika aku harus meninggalkan dunia malam ini juga, kumohon sampaikan padanya kalau aku mengasihinya. Aku mengasihinya seperti diriku sendiri meski aku tak mampu memberinya kasih yang sempurna seperti kasihMU. Kalau saja Engkau masih memberikan aku waktu untuk menatap wajahnya lagi, kumohon biarkan aku menjadi manusia yang lebih baik dulu. Persiapkan aku untuknya jika dia memang pilihanMU. Tapi Tuhan, jangan biarkan rasa cintaku padanya melebihi cintaku padaMU. Tak ada seorang pun yang boleh menguasai hati dan pikiranku sepenuhnya selain Engkau saja. Walau pada akhirnya pun mungkin dia bukan takdirku, Bapa. Aku yakin Engkau akan pertemukan aku dengan siapapun dia yang jadi takdirku nantinya jika saatnya sudah tiba. Aku terus berharap kalau Vana memang yang terbaik untuknya, kiranya mereka bisa bertemu lagi dan memulai bagian yang baru dalam kehidupan mereka. Tuhan jika aku boleh meminta, lindungilah Jordan dan seluruh keluarganya disana. Jaga dia agar tak berpaling dariMU. Bentuk dia menjadi pribadi yang menyenangkan, tulus, dan mampu menjadi pemimpin yang disegani siapapun. Aku percaya Engkau mendengarkanku, Tuhan. Terimakasih untuk segalanya. Amin."
Aku tertidur pulas setelahnya. Hari-hari ujian kujalani hingga hari terakhir tiba. Ya, hari ini adalah hari terakhirku sebagai anak SMA. Semua teman-temanku mencoreti seragam mereka dengan berbagai pesan dan tulisan. Banyak diantara mereka yang ingin melakukannya pada seragamku juga, tapi aku menolak dan harus berlari keliling lapangan saat teman-temanku mengejarku dengan buasnya. Geli juga aku mengingat saat itu. Ingin rasanya aku ikut tradisi konvoi dan corat-coret seragam, tapi satu hal yang sanggup mengurungkan niatku adalah ketika aku melihat anak yatim yang pergi ke sekolah dengan seragam bekas yang ditambal disana-sini. Aku iba, aku kasihan. Aku pikir tak ada hal lebih baik yang bisa kulakukan selain memberikan seragamku yang masih bagus itu. Aku selalu berharap agar junior-juniorku juga punya pikiran yang sama nantinya. Ketika mereka mencorat-coret seragamnya, mestinya saat itu juga mereka menyadari bahwa ada seseorang diluar sana yang sungguh membutuhkannya. Dulu aku juga sempat berpikir mungkin dengan aku menyumbangkan seragamku, doa anak yatim-lah yang turut membantuku untuk sampai pada kelulusanku yang indah dan membahagiakan aku lebih dari apapun saat itu.
Aku tak lagi menyandang gelar sebagai pelajar, tapi lebih daripada itu aku adalah seorang pengangguran samar-samar yang turut serta membebani negara. Nasibku masih menggantung menunggu hasil Ujian Nasional diumumkan. Lamanya waktu liburan yang diberikan pada kami, membuat jantungku semakin berdebar hari demi hari menanti keputusan terpenting yang akan jadi kunci untuk membuka gerbang menuju cita-citaku.
Aku mulai fokus untuk ikut bimbingan intensif menuju Ujian Saringan Nasional Perguruan Tinggi Negri di daerahku. Kali ini aku mengikuti ujian yang pertama, sebenarnya tes itu dibagi menjadi 2 entah bagaimana aku menjelaskannya yang pasti aku berharap kelulusan di salah satunya. Aku bertemu dengan teman-teman baruku di tempat bimbingan. Mereka adalah temankteman yang sangat baik dan tulus. Aku masih ingat saat mereka menyapaku dan mengajakku berkenalan dengan sikap sedikit enggan. Aku bisa merasakan itu. Maklum saja, aku sungguh menyadari bahwa aku adalah gadis "aneh". Setiap orang yang melihatku hanya sekilas pastilah mengira kalau aku gadis angkuh yang jauh sekali dari apa yang disebut sebagai "ramah". Tapi dari kejadian itulah aku menemukan kebenaran dari ungkapan DON'T JUDGE THE BOOK BY THE COVER. Maka aku mengerti bahwa tiap kali kita bertemu dengan seseorang, cobalah untuk menjadi dekat dengannya walaupun tampaknya galak atau apapun sejenisnya. Ketika kita dekat dengannya barulah kita tahu siapa dia sebenarnya.
Ya. Aku bersyukur karena dikelilingi oleh orang-orang yang sangat baik. Mereka menyukaiku dan ingin berteman denganku. Sampai sekarang pun aku tak habis pikir apa yang menyebabkan mereka bisa begitu mengasihi aku. Aku merasakan kasih yang tulus tanpa pamrih dari teman-teman baruku. Mungkin juga karena aku termasuk peserta bimbingan yang cukup menonjol di beberapa bidang. Kami saling mengajari. Bahkan setiap ada teman baru yang mendaftar di kelas, kami selalu saja mudah akrab dengan teman-teman baru kami. Aku mulai merasakan keluarga kedua disini, menemukan rumah kedua lebih tepatnya. Kami saling mengajari. Salah satu teman yang sangat dekat dan mengenalku adalah Mitha. Aku pikir dia memang tidak kenal aku seperti ibuku mengenaliku. Tapi sejauh apa yang dia tahu, aku tak pernah berdusta padanya dan aku yakin dia pun demikian. Setiap hari kami pulang larut karena begitu semangatnya kami untuk lulus PTN ditahun yang sama kami lulus SMA.
Aku sungguh malu jika saja aku tak lulus PTN tahun ini juga. Bayangkan saja betapa hinanya aku sebagai manusia dan anak yang menerima segala bentuk fasilitas dari kedua orangtuaku. Terlebih lagi kedua kakakku lulus juga di PTN pada tahun yang sama saat mereka lulus SMA. Aku sungguh punya tanggung jawab besar di pundakku. Untunglah aku ada di lingkungan temanktemanku yang juga punya ambisi yang sama tulusnya denganku. Bukan cuma jadi teman belajar, kami juga teman bercanda dan banyak hal-hal lucu aku dan teman-temanku alami. Aku ingat ada kejadian lucu saat aku dan Mitha pulang agak malam karena kami harus berdiskusi dengan tentor favorit kami. Aku kemudian membonceng Mitha sampai ke perempatan jalan untuk menunggu angkutan umum menuju rumahnya. Rupanya kami tak sadar ada banyak polisi lalu lintas yang bertugas disana. Aku memang tak pernah membawa helm lebih dari satu. Maka dari jauh Mitha memintaku menurunkannya ditempat yang agak jauh dari si polisi. Aku menurutinya karna akupun berharap kalau polisi tak melihat keberadaan kami. Tapi ternyata kami kalah cepat dari mata polisi yang sejak kecil aku yakini lebih tajam daripada mata kucing di malam hari. Mitha kemudian berjalan mengiring aku di sebelahku sampai ke tempat dimana dia biasanya menunggu. Aku yang sudah merasa cemas tiba-tiba diberhentikan oleh polisi lalu diminta untuk menepi sejenak.
Jujur, aku hendak menangis karena itulah kali pertama aku akan kena tilang. Aku bergerak lambat sekali. Polisi kemudian menahan langkah Mitha juga. Dia bertanya pada Mitha. Aku merasa geli bukan karna Mitha ditanyai oleh polisi, tapi karena jawabannya pada polisi itu...
" Selamat malam, adik. Kenapa jalan kaki? Bukannya tadi kamu dibonceng oleh temanmu ini? Lalu kenapa turun?"
"Bbbukaann, pak. Dia bukan teman saya. Kami tak saling kenal 'kok. Siapa dia? Aku tak mengenalinya sama sekali. Sudah dulu ya, pak. Saya terburu-buru harus segera pulang."
"Baik kalau kamu tidak mau mengaku."
Kebetulan sekali angkutan umum yang biasanya ditunggu Mitha lama sekalu tiba-tiba muncul. Aku menghela napas lega melihat seorang bukti berhasil kabur meski aku sempat tak diakui sebagi temannya. Kemudian bola panas berpindah padaku. Polisi yang menyebalkan itu menghampiriku...
" Selamat malam, adik. Itu tadi temanmu, kan? Kasihan sekali kamu tak diakui olehnya. Dia kejam, ya?"
Aku merasa diejek habis-habisan olehnya.
"Selamat malam, pak. Dia memang teman saya. Memangnya kenapa kalau dia bilang bukan teman saya? Dia memang harus segera pulang karena rumahnya sangat jauh dan ada di daerah yang lumayan rawan. Sekarang tinggal bapak dan saya. Lalu apa saya boleh pulang?"
Aku sudah bersiap-siap kalau saja dia meminta kartu identitasku dan surat mengemudiku. Aku yakin kalau dia begitu berani karna saat itu aku memang masih mengenakan seragam karena dari pagi sampai siang aku mengurus surat-surat pentingku di sekolah.
" Bisa saya lihat SIM dan STNK nya?"
" Oh. Silahkan, pak."
Lama dia terdiam sambil tersenyum-senyum aneh. Dia kemudian mengajukan banyak pertanyaan yang kusadari jauh dari aura seragamnya.
"Adik baru pulang bimbingan, ya? Bimbingan dimana, dik?"
" Iya, pak. Saya bimbingan di ...."
" Kenapa berani membonceng temanmu tadi tanpa helm?"
" Jalan dari tempat bimbel ke sini gelap sekali sementara teman saya itu mungil dan dia seorang gadis, pak. Apa saya salah hanya mengantar dia kesini? Lalu saya benar jika saja terjadi hal yang tidak-tidak padanya seandainya saya biarkan dia berjalan sendirian? Lagipula ini bukan jalan yang ramai sekali, pak."
" Iya, dik. Tapi jika saja tadi kalian kecelakaan, apakah itu bisa dibenarkan?"
" Tidak akan ada kecelakaan jika saya mengemudi dengan hati-hati seperti tadi. Sudahlah, pak saya harus segera pulang karena saya belum pulang kerumah sejak tadi pagi. "
" Tunggu sebentar, dik. Kamu dari sekolah mana, ya? Kelas berapa sekarang? "
" Maaf pak, saya harus pulang."
Pikiranku mulai dikuasai kecurigaan dan dugaan-dugaan. Aku refleks menarik gas motorku keras-keras agar dia tahu kalau aku benar-benat ingin pulang. Tapi dasar polisi muda, dia membolak-balik SIM dan STNK ku lalu bertanya lagi.
" Sabar sebentar, dik. Oh, iya. Kamu tinggal dimana, ya? Bisa minta nomor handphone mu?"
Aku langsung menyadari kalau dia memang aneh. Aku kembali menarik gas motorku kuat-kuat dan syukurlah dia mengerti.
" Adik, lain kali jangan lakukan yang seperti tadi, ya. Sekarang silahkan pulang. Ini SIM dan STNK mu. Simpan baik-baik, ya."
"Baik, terimakasih pak. Saya ijin pulang."
Tanpa basa-basi lagi, aku langsung memacu motorku dengan kecepatan tinggi karena begitu takut dan risihnya aku. Sepanjang jalan aku merasa geli sendiri. Ternyata polisi itu memintaku menepi hanya untuk mengajakku kenalan. Huuh, dasar aneh...!
Masih banyak lagi hal-hal lucu dan indah yang terjadi. Lalu keesokan harinya aku bercerita panjang-lebar pada Mitha dan teman-teman kami yang lainnya. Mereka tertawa terbahak-bahak sambil menggodaku sesekali. Aku benar-benar merasa malu, tapi cukup bersyukur karna dia tak sampai memberiku surat tilang atau meminta uang dariku. Dari kejadian itulah aku belajar untuk tidak lagi membonceng orang lain tanpa helm.
Hasil Ujian Nasional diumumkan. Jauh sebelum pengumuman itu tiba, aku begitu cemas meski aku bisa mengukur kemampuanku sendiri dalam mengerjakan soal-soal saat itu terutama bidang studi matematika dan ekonomi. Aku yakin akan kelulusanku, tapi tetap gugup. Aku yakin semua pelajar kelas XII SMA pasti merasakan apa yang aku rasakan. Doa tak henti-hentinya kupanjatkan setiap tengah malam. Aku meyakinkan diriku bahwa kelulusan harus aku persembahkan pada orangtuaku. Ya. Ternyata tepat seperti dugaanku, aku lulus. Untuk saat ini cukup 5 huruf itu yang membuatku bisa bernafas lega. Aku dan teman-teman sekelasku lalu saling berpelukan dan mengucapkan selamat. Senang rasanya seisi kelas dan seisi sekolahku lulus dengan nilai yang bagus-bagus. Lalu kami menghambur menuju kantin terdekat, melahap setiap jenis jajanan yang dijajakan disana. Kami melakukannya dengan doktrin yang ada dalam pikiran kami masing-masing bahwa bertahun-tahun lagi kami baru bisa kembali mengingat dan merasakan kenangan-kenangan indah disini. Saat-saat kami bolos dari mata pelajaran tertentu lalu menghabiskan waktu dengan makan mi goreng pedas disitu. Jika guru BP atau kepala sekolah lewat, cepat-cepat kami sembunyi. Lalu apabila ketahuan, kami pura-pura hendak membeli air mineral. Lucu sekali mengingat kenakalan khas remaja itu. Belum lagi kalau mengingat pengalamanku bertemu dengan seorang anak Belgia kelas XI dari pertukaran pelajar. Aku menyukai dia, memang sebatas suka saja. Tapi dalam sehari, bisa puluhan kali aku berpapasan dengannya di kantin ataupun di dekat kantin itu. Lucu sekali sampai-sampai teman-temanku bilang mungkin kami jodoh. Tapi aku tahu pasti ini hanya akan sekedar menjadi lelucon aneh dalam hidupku. Lucu juga saat aku mendapatkan pengumuman bertuliskan LULUS, refleks aku berlari keliling sekolah sambil meneriakkan, " Aku lulus...!" pada setiap orang yang aku temui. Sebenarnya aku hendak menemui Joana di balkon atas tapi saat dia melihatku di bawah, aku meneriakkan padanya kalau aku lulus. Tiba-tiba mataku tertambat pada sosok si Belgia bermata biru itu. Dia tersenyum simple, tapi aku malu sekali. Ini aneh dan lucu karena dia itu junior dan aku senior. Hmm... Tapi aku hanya mengagumi dia saja, tak lebih.
Aku sampai dirumah dengan wajah yang kubuat masam. Ibuku yang sedari tadi harap-harap cemas semakin cemas melihat ekspresiku.
"Nak, bagaimana hasilnya? Kenapa telepon dan sms mama tidak dijawab? Kamu bikin mama cemas."
" Maa..."
" Kamu kenapa, sayang? Kamu lulus, 'kan?"
" Hmm... Mamaaaa..."
            Mama langsung memelukku dan memberikan supportnya padaku. Tawaku hampir saja meledak. Aku tak tahan lagi...
" Yasudah, sayang. Ta apa, masih ada ujian ulangan 'kan? Mama tahu dan mama lihat sendiri selama ini kamu sudah belajar dengan sangat serius. Jadi mama yakin mungkin ada kesalahan teknis yang akhirnya membuatmu tak lulus."
" Mama... Maafkan aku, ma. Maafkan aku karna telah mengerjaimu. Ma, aku..."
Belum sempat aku melanjutkan kalimatku, ibuku melepaskan pelukannya. Aku tersentak, pikirku ibuku pasti marah besar. Ternyata...
" Sayang, maafkan mama juga karna telah mengerjaimu. Mama tahu kalau kamu pasti lulus. Ingat, Tuhan pasti menolong anakNya yang bekerja keras untuk cita-citanya yang luhur."
" Aaah... Mama...!!! Baiklah, skor kita satu sama. "
" Iya, sayang. Oh, iya. Hendak pergi ke manakah kita merayakan kelulusanmu ini? Atau kita belajar memasak menu baru saja?"
Tawaran ibuku sesuai dengan rencanaku beberapa waktu yang lalu. Akupun meniyakan pilihan kedua. Aku lebih suka melakukan apa yang bermanfaat lebih daripada sekedar menikmati lezatnya menu-menu di restoran mahal dan ibuku tahu betul itu.
Ayah menanyakan kabar kerumah dan ibu yang menjawab teleponnya. Ibuku bilang kalau aku lulus dan sekarang kami hendak memasak menu spesial buat ayahku. Kali ini sebagian bebanku sudah lenyap. Aku resmi menyandang gelar sebagai alumni, sekaligus pengangguran terdidik. Aku berkata begitu karena sampai pada ujian dan pengumuman PTN nanti, lama sekali aku hanya berdiam dirumah tanpa mengerjakan apapun yang bisa menambah devisa. Sungguh memalukan dan membuatku ingin segera kuliah, bekerja, dan membuat ide-ide baru yang mendatangkan keuntungan sekaligus mensejahterakan banyak orang.
Kami mulai memasak dan menyelesaikannya dengan sangat baik. Aroma masakan itu harum sekali dan rasanya pun tak diragukan lagi. Kami memasak ikan asam manis kesukaan ayahku. Dalam hati aku tersenyum membayangkan betapa bahagianya ayah nanti. Aku merasa sedikit lelah, lalu bergegas menuju kamarku. Aku terduduk diam memandang pekarangan dari balkon kamarku. 
Aku melamun sambil mendengarkan musik kesukaanku. Tak sadar aku hingga terasa sangat mengantuk. Aku tertidur dengan posisi terduduk di kursi santaiku. Dalam tidurku pun aku bisa merasakan semilir angin yang berhembus meniup rambut ikalku. Aku semakin pulas tertidur. Dalam tidurku aku bermimpi, Jordan datang menghampiriku dengan senyumnya yang ramah. Tapi entah mengapa tak sepatah kata pun diucapkannya padaku. Aku mencoba menyapanya dan mengikuti kemana dia pergi. Belum sempat aku menyentuh bahunya untuk menegurnya, aku terbangun oleh tetesan air hujan yang memercik ke wajahku karena terbawa angin. Aku segera tersadar, bergegas masuk, dan menutup semua jendela karena semakin lama hujannya semakin deras terasa. Aku bisa merasakan dinginnya suasana sore ini.
Menjelang maghrib, ayahku pulang. Kali ini tak seperti biasanya, dari depan pintu rumah ayah memanggil-manggil namaku dengan cerianya dan langsung saja bergerak menuju kamarku. Aku juga langsung berlari inin menyambut ayah. Kami bertemu tepat ditengah tangga. Aku memeluk ayah dan mencium pipinya. Ayah membelai rambutku lalau mencium keningku. Terharu sekali aku, sampai-sampai tak sanggup rasanya airmataku tertahan.
“ Sayangnya papa. Terimakasih nak, karena kamu sudah memberikan hadiah yang terindah bagi orangtuamu. Papa sangat bangga padamu. Sekarang, cium pipi papa, dong...”
“ Iya, papa. Terimakasih karena tak pernah lelah mendoakanku. Menyemangati putrimu yang malas dan tak tahu diri ini. Maafkan segala kesalahan dan kenakalanku, papa. Aku janji takkan pernah membuat papa menangis dan menyesali diri karena aku. “
“ Baiklah, sayang. Sekarang papa ganti baju dulu, ya. Mamamu dimana?”
“ Iya, papa. Ehm... Seperti biasa, pa, mama sedang berkebun. Tanpa berkebun hidup mama terasa sangat hampa. Ya sudah,  papa istirahat saja dulu. Yona dan mama punya hadiah istimewa buat papa, loh. “
“ Wow, apa itu? Boleh papa tahu?”
“ Kalau papa tahunya sekarang, bukan hadiah istimewa namanya, papa...”
“ Iya, deh. Papa istirahat dulu, ya. Nanti bangunkan papa saat jam makan malam. “
“ Baik, pa.”
Malam pun tiba dan ayah memang terkejut dengan hadiah istimewa yang kami berikan buatnya. Ayahku lalu melahap masakan kami dengan nikmatnya. Malam yang penuh pujian dan tawa bahagia. Ayah sungguh menyukai masakan kami.  Bahkan ayah meminta kami untuk berduet lagi dalam memasakan menu-menu favorit lainnya. Senang rasanya dengan pujian itu.
Hari demi hari terlewati dengan rutinitas yang itu-itu saja. Aku bahkan sudah berbulan-bulan tidak keluar rumah bersama teman-temanku. Aku memang cukup aneh dalam hal prisip. Aku berprinsip untuk tidak keluar rumah sampai aku benar-benar lulus di PTN favoritku. Tak cukup membahagiakan bagiku hanya karna aku lulus SMA. Aku terlalu focus pada ambisiku sampai aku benar-benar lupa pada pacarku sendiri. Aku yang memang sudah lama tidak bermain dengan akun sosialku, hari ini merasakan rindu yang sangat untuk mengotak-atik akunku. Aku kembali melihat-lihat ruanng info pada akunku. Mataku tertambat pada tulisan in relationship with… Aku terpikir untuk menanyakan kabarnya. Rupanya dia pun sudah berkali-kali mengirimkan pesannya di inbox-ku. Mungkin karena suda sekian lama aku tak membukanya, jadi terlihat sangat banyak. Aku yakin dia pun sadar akan kesibukanku.
“ Dear Yohana…
Hei, cute. What time is it now? Are you sleepy now? Oh, I know about your full time schedule. Keep spirit, dear. I know about your graduation. Congratulations, I believe that you can get your best future in God. How about the preparation to pass your college exam? Hahaha… Maaf, aku bosan berbicara dalam bahasa inggris. Bunda selalu memaksaku untuk berbicara dalam bahasa inggris. Tapi aku tahu, kemampuan bahasa inggrismu tak perlu diragukan lagi. Bagaimana kabarmu? Apa kamu baik-baik saja? Oh iya, bagaimana juga kabar keluargamu disana? Mereka pasti bangga karena memiliki kamu. Sebenarnya aku begitu menunggu balasan darimu. Ini sudah pesan kesekian yang aku kirimkan padamu dalam beberapa bulan ini.  Baiklah kalau kamu sedang sibuk dan memang tak bisa membalasnya, aku tetap menunggu sampai kamu benar-benar punya waktu untukku. Maafkan aku telah membuat akunku penuh sesak dengan pesan-pesan tak penting ini. Jika kamu sudah membaca pesan ini, balaslah segera. Terimakasih.”
Aku membaca semua pesannya dari awal. Intinya adalah dia menanyakan kabarku dan keluarga. Dia juga tak lupa menanyakan persiapan kuliahku dan memberiku ucapan selamat atas kelulusanku. Bahagia sebenarnya menerima perhatian itu. Tapi, tetap saja perasaanku tak tergambarkan.
Aku membalas pesan-pesannya dengan satu pesan saja.
“ Jordan. Bisakah kita ngobrol dalam waktu dekat? Kami sekeluarga baik-baik saja, terimakasih sudah mengkhawatirkan kami. Terimakasih juga buat ucapan selamatmu itu. Aku sungguh bahagia karena satu tahap dalam hidupku telah berhasil aku lewati.  Satu hal yang penting menurutku adalah jangan bosan untuk melatih kemampuan bahasamu. Banyak orang yang ingin bisa sepertimu, tapi mereka tak bisa. Jadi, jangan pernah mengeluh untuk anugrah dan kesempatan yang kamu miliki. Maaf juga kalau begitu lamanya aku tak memberimu kabar. Sama sepertimu, aku sangat sibuk beberapa waktu yang lalu dan yang akan datang. Aku tetap menunggu telepon darimu. Jangan lupa, ya. Jujur, biaya untuk sambungan internasional sangat besar dan uang jajanku tak cukup banyak untuk menutupinya. Terimakasih sudah membaca pesanku. Selamat malam, God bless you
Fokus menuju masa depan... menemukan cinta yang baru...
Hari ini hari libur. Aku berpikir untuk istirahat saja dirumah. Malas saja aku bepergian keluar rumah. Aku pikir lebih enak menonton film dikamarku daripada menghabiskan uang hanya untuk makan dan membeli barang-barang yang belum tentu aku perlukan. Saat jenuh menonton, aku memilih untuk berbaring sambil membaca novel-novel favoritku. Sempat terlintas dibenakku ingin mengembangkan bakatku di bidang karya tulis.Tapi, aku sadar betul kalau aku masih punya masalah besar dengan yang namanya manajemen waktu. jadi aku bertekad untuk memulai karirku di dunia tulis-menulis saat aku kuliah nanti.
Persiapanku selama ini untuk mengikuti ujian masuk PTN akhirnya dipertaruhkan. Aku merasa jauh lebih cemas daripada saat ujian nasional beberapa waktu yang lalu. Kali ini aku merasakan ada keyakinan yang lebih dalam hatiku. Aku seperti punya firasat akan kelulusanku nanti. Tapi aku tak ingin mendahului Tuhan. Tak ada halangan berarti yang mengganggu kelancaran hariku. Aku menyelesaikannya dengan sangat baik, lalu aku pulang dengan senyuman lebar tersungging dibibirku. Aku langsung meluapkan semua rasa penat dengan pergi ke pantai sendirian. Aku berteriak ditepi pantai pertanda satu lagi gerbang masa depan telah kulihat tepat dihadapanku. Sepulangnya aku, rasa yakin sekaligus doa dan harapan kuucapkan dalam hati. Aku mulai lagi fokus untuk berjaga-jaga mengikuti kesempatan ujian terakhir kalinya jika saja ujian kali ini aku dinyatakan gagal.
Berminggu-minggu berlalu, akhirnya hari penentuan tiba. Aku masih mengikuti bimbel dari siang hingga malam. Pengumuman dicantumkan via website tepat pukul 6 sore, padahal aku pulang pukul 7malam. Sepanjang jam pelajaran aku berharap-harap cemas. Begitu waktu bimbingan berakhir, aku langsung tancap gas menuju rumah. Untung saja saat itu aku tak naas. Aku sampai dengan selamat dirumah dalam 10menit, padahal biasanya aku butuh sekitar 30 menit untuk sampai kerumah dengan kecepatan sedang.  Tanpa banyak kata, aku langsung membuka website dimana pengumuman dicantumkan. Tapi tiba-tiba aku teringat untuk lebih dulu berdoa. Lalu sejenak aku pergi ke kamar dan berdoa memasrahkan apapun hasilnya kepada Tuhan. Aku kemudian kembali duduk di depan layar laptop. Kebetulan juga orangtuaku sedang berbincang tak jauh dari posisiku berada. Rasa cemas tetap saja menghinggap meski aku mengusahakan untuk tetap tenang.
Begitu nervousnya aku sampai-sampai jemariku terasa gemetar bahkan sekedar untuk mengetikkan rentetan nomor ujianku. Beberapa kali kucoba, selalu saja error. Aku semakin takut dan airmata mulai berlinang dipelupuk mataku. Berkali-kali teman-temanku mengirimkan pesan singkat. Ada yang mengucapkan syukur pada Tuhan atas kelulusannya, ada pula yang begitu terpukul atas ketidaklulusannya. Aku bertekad kalau ini adalah kali terakhir aku mencoba meng-klik tombol enter dilayar itu...
“ Selamat, anda diterima di ..............................................”
Ya, Tuhan...! Sungguh luar biasa keberuntungan yang Engkau berikan padaku. Aku lulus ditempat dimana aku sungguh-sungguh menginginkannya. Sempat banyak orang yang meremehkan kemampuanku. Membuatku merasa takut dan semakin takut saja. Tapi kali ini semuanya terpatahkan. Aku lulus… Ya, lulus. Dari situ aku belajar tegar dan tak terpengaruh perkataan orang. Apapun yang orang lain katakana tentangku, mereka takkan pernah lebih tahu selain diriku sendiri. Itulah sebabnya sampai saat ini pun aku masih heran melihat ada orang yang mudah sekali terpengaruh oleh komentar dari orang-orang yang justru sama sekali mengenalinya hanya sebatas dia itu si A, dia itu si B, atau si C. Aku berharap siapapun orangnya, bagaimanapun pribadinya harus bisa mengenali dirinya sendiri, membentengi dirinya sendiri. Karena tak jarang omongan-omongan dari orang-orang yang tak bertanggungjawab itu sanggup memporakporandakan kepribadian kita. Jangan pernah berusaha untuk berubah hanya karena mendengar omongan-omongan mencibir dari orang-orang seperti itu. Ingat, jadilah dirimu sendiri. Berubahlah hanya jika kau bisa menyadari apa yang salah pada dirimu. Lakukanlah refleksi pribadi sesekali untuk bisa merenungkan apa yang salah dari dirimu. Kenyatannya banyak sekali hubungan persahabatan yang rusak hanya karena datang pihak baru yang mungkin saja merasa iri akan persahabatanmu, lalu dia mencoba masuk dalam ikatan manis itu dan mempengaruhi pemikiran salah satu diantaranya. Mereka yang tak bisa membentengi dirinya pastilah mudah diadu domba(ya, kau tahu sendirilah apa yang aku maksudkan).Jangan lupa bertanya pada sahabatmu, orang yang benar-benar bisa kau percayai. Akan lebih baik jika kau bisa bertanya pada ibu atau ayahmu sendiri. Aku rasa begitu lebih baik.
“Bagaimana hasilnya, nak?”
“ Pa… Papa… Puji Tuhan, aku lulus…”
Tak tertahankan airmata membanjiri pipiku. Aku segera memeluk ayah dan ibuku. Mereka tersenyum haru. Lalau kami segera berdoa bersama mengucap syukur untuk karunia tak terkira itu. Setelah berdoa, aku melanjutkan aktifitasku di dunia maya. Sahabtaku, Mitha menyapaku dengan harunya.
“ Yona… Bagaimana hasilnya?”
“ Puji Tuhan aku lulus, Mitha. Bagaimana denganmu?”
Perasaan tak enak mulai menggangguku…
“ Aku tak lulus. Mungkin Tuhan punya rencana yang lain. Tapi kali ini aku down. Aku ingin menangis. “
“ Mitha, aku pernah bercerita padamu bagaimana aku diremehkan oleh banyak orang karena aku sempat tidak lulus pada saat ujian mandiri PTN beberapa waktu yang lalu. Aku pikir tidak akan pernah ada keberhasilan tanpa kegagalan yang mendahuluinya. Pernahkah kamu bayangkan bagaimana rasanya tersakiti ketika aku tahu justru seorang teman yang berbeda jurusan, yang harus aku ajarkan semua pelajaran yang ada di bidang IPS  hanya berlandaskan rasa persahabatan? Lalu saat tes mandiri di perguruan tinggi bergengsi di Indonesia itu, justru dialah yang lulus di pilihan ilmu sosialnya. Betapa sakitnya hatiku saat itu, Mitha. Aku sempat marah pada diriku sendiri, bahkan pada Tuhan. Bagaimana mungkin seorang yang aku ajarkan segalanya bisa lulus sedangkan aku tidak? Tak seharipun terlewatkan tanpa menangis. Pada akhirnya aku harus sadar mungkin bukan disitulah aku harus berkarya. Doa-doaku dijawab indah, da inilah jawaban itu. Aku lulus dijurusan impianku, cita-citaku. Meskipun bukan di universitas favorit itu, tapi aku yakin kami yang lulus disini adalah orang-orang pilihan Tuhan untuk menjadi yang terbaik di bidang kami masing-masing.”
Aku tahu, berat rasanya menerima kegagalan jika itu adalah kali pertama di tengah harapan yang luar biasa. Tapi, dari situ aku menemukan kebenaran bahwa guru kencing berdiri, murid kencing berlari… Peribahasa itu juga menyadarkanku bahwa orang yang sungguh-sungguh mau belajar pastilah bisa meraih kesuksesan. Aku yakin saat itu Mitha mengerti apa maksudku. Kami saling mendukung dan meskipun aku sudah lulus dan tak berniat untuk ikut ujian yang kedua, tapi aku tetap datang ke tempat bimbingan. Aku datang utntuk memberikan dorongan semangat bagi teman-temanku agar mereka tahu, mereka tidak berjuang sendirian. Memang setelah pengumuman itu, banyak peserta bimbingan di tempat kami yang lulus. Itu terlihat jelas di kelas kami. Hanya tinggal beberapa orang yang masih mengikuti bimbingan. Ironis sekali, kasihan rasanya bagi mereka yang belum lulus kali ini. Aku bisa rasakan bagaimana mereka merasa ditinggalkan dan tersisih. Itulah sebabnya aku tak menyesali niatku untuk tetap datang bersama beberapa orang temanku yang lulus juga.
Aku tetap datang dan berjanji pada teman-temanku untuk mengajari mereka bidang matematika meskipun tak aku tak sepintar tentor-tentorku. Aku tak bisa sering-sering datang juga, karena akupun harus mengurusi keperluan menjelang masa kuliah nanti. Ibu mengajakku membeli perlengkapan kuliah, pakaian-pakaian yang layak untuk aku kenakan nanti. Maklum sajalah, aku tak punya kemeja yang layak. Isi lemariku tak lain dari tumpukan t-shirt tanpa kerah, celana pendek dan jaket. Aku dengar dari kakakku, bahwa seorang anak kuliahan diwajibkan untuk mengenakan pakaian berkerah dan rapi. Tentu saja aku memang harus membeli yang seperti itu. Ada rasa senang dan bangga, keduanya bertengger di bahuku. Tapi tetap ada tekad untuk bisa meraih prestasi demi prestasi lagi untuk membanggakan orangtuaku.
Saat-saat paling mendebarkan tiba, dan aku memulai hari baruku di universitas. Aku senang sekali akhirnya aku tak lagi harus mengenakan seragam saat belajar. Aku memulai masa perdana kuliah dengan mengikuti orientasi pengenalan kampus. Lucu, menyebalkan, mengharukan, dan menyenangkan semuanya bercampu. Sempat ada keinginan untuk berontak ketika aku merasa diperlakukan semena-mena oleh para senior. Ada-ada saja ulah mereka, banyak permintaan yang aneh-aneh yang membuatku terkuras tenaga dan kocek. Badanku sakit dan lunglai disuruh berjalan jongkok. Tapi syukurlah semuanya itu hanya untuk 3 hari saja. Keika semuanya berakhir, ternyata para senior itu baik-baik. Aku senang mengenal mereka.
Beberapa minggu memulai masa kuliah, aku menemukan bayak teman-teman baru. Senang rasanya bisa berteman dengan banyak orang. Aku mulai menjalani kehidupanku dengan penuh semangat. Aku mengenal banyak orang, pria dan wanita. Semuanya membuatku begitu merindukan masa-masa SMA. Aku memulainya dengan tekad aneh, TIDAK BOLEH JATUH CINTA sebelum aku mengenakan toga sarjana. Lucu juga, meskipun dari pengalaman beberapa teman bahwa mereka yang berprinsip seperti itu justru melanggar ucapannya sendiri. Aku sungguh menyadari itu dan tak hentinya berharap agar aku tak terpuruk ke dalam sumpahku sendiri.
Beberapa minggu sebelum mid semester, diluar dugaan, di suatu malam handphone-ku berdering. Segera kuangkat karena aku memang sedang bosan dan menunggu ada yang menanyakan kabarku…
“ Halo, apa kabar? Sudah begitu lamanya aku tak mendengar kabarmu sejak pesan yang terakhir kalinya kamu kirimkan padaku berbulan-bulan yang lalu. Maaf karena baru kali ini aku bisa menghubungimu. Kamu tak marah, ‘kan?”
“ Oh, ternyata kamu Jordan. Iya, tak masalah dan aku tak marah ‘kok.”
“ Bagaimana masa kuliahmu? Kudengar dari Vana kamu lulus ditempat yang kamu inginkan, ya? Ivana juga lulus. Tapi dia tidak mengambilnya karena cita-citanya bukan disitu. Dia bilang dia akan ikut ujian kedua dan berharap untuk lulus juga di tempat yang benar-benar diimpikannya. Katanya dia ingin sekali lulus di Bandung.”
“ Oh begitu, ya? Iya, namanya juga terv\cantum di pengumuman yang dibuat di surat kabar. Aku bahkan menandai namanya. Memang aku tahu kalau cita-citanya bukan di bidang itu, tapi segala sesuatunya lebih baik dipikirkan masak-masak. Aku yakin dia sudah melakukan itu sebelum memutuskan untuk melewatkan kesempatannya karena sekarang hak-ya untuk menjadi mahasiswa di jurusan itu sudah dibatalkan. “
“ Hmm… Aku ingin bertemu denganmu. “
“ Tapi aku tidak.”
“ Aaa… Apa kamu serius?”
Terdengar suaranya terkejut. Aku tahu kalau bukan itu jawaban yang diharapkannya tapi aku santai saja. Aku ingat setiap saat bagaimana kami bisa menjadi seperti sekarang, dan aku yakin untuk mengakhiri segalanya detik ini juga.
“ Iya. Lebih dari serius, aku ingin mengakhiri semua kebohongan ini.”
“ Kebohongan? Maksudmu?”
“ Tentu saja semua ini hanya kebohongan. Bagaimana mungkin aku bisa menganggap ini nyata padahal jelas-jelas aku tahu siapa gadis yang ada di dalam hatimu. Bagaimana bisa aku terus menantimu padahal hatiku tak lagi untukmu? Kenapa tidak mencoba jujur pada dirimu sendiri? Aku siap membantu jika kamu memintaku.”
“ Tidak. Ivana bukan siapa-siapa buatku. Dia tak punya arti dalam hidupku. Kamu, kamu, dan hanya kamu yang selalu aku pikirkan. Bersedia atau tidak, kita takkan pernah berakhir meskipun ratusan kali kamu katakan putus. Kamu mengerti itu, Yona?”
“ Ka..Kamuu… Dasar bodoh…! Seberapa yakin kamu padaku kalau tak ada orang lain yang sedang mengisi hatiku? Bagaimana jika saat ini pun aku sedang bersama pacar baruku? Masih bisakah kamu mempercayaiku?”
“ Bahkan jika kamu datang kehadapanku saat ini bersama tunanganmu pun aku takkan bergeming. Kamu tetap pacarku.”
“ Hei…! Masih waraskah kamu?”
“ Ya. Tentu saja aku masih waras hingga aku tak bisa terjebak dalam tipuan katamu. Aku yakin saat ini kamu sedang duduk di depan balkon, menatap ke langit dan memandangi bintang-bintang tanpa ada seorang pun disekitarmu apalagi disisimu. Jangan coba untuk mengelabuiku, karena aku mengenal siapa yang sedang bebrbicara denganku ini.”
Aku terdiam. Memang benar saat ini aku sedang duduk santai di balkon kamar sambil memandangi bintang. Dia benar-benar mengenali siapa aku. Sebenarnya tak ada alasan bagiku untuk mencoba membohongi dia lagi. Tapi tetap kuupayakan agar dia percaya kalau aku bukanlah gadis yang terbaik untuknya. Diluar dugaan, ada yang datang mengetuk pintu kamarku. Aku berlari kecil membuka pintuku. Ternyata dialah Romi sepupuku. Aku mendapat ide untuk menggunakan Romi agar Jordan percaya pada semua kata-kataku. Di atas selembar kertas aku meminta tolong pada Romi. Dia kelihatan cukup bingung tapi tetap bersedia menolongku, mungkin karena kami bersaudara dan dia ingin tahu apa yang sedang terjadi. Karena dengan sadar aku juga menuliskan janjiku untuk menceritakan padanya nanti apa yang terjadi padaku saat itu.
“ Kamu masih tidak percaya? Kamu merasa perlu bukti? Baiklah, ini dia pacar baruku, namanya Hendra. Silahkan ngobrol dengannya. Mungkin pikiranmu itu bisa terbuka.”
Aku menyerahkan handphone-ku pada Romi. Dia memang berbakat menjadi artis. Bahkan tanpa bertatapan langsung pun dia benar-benar bisa bersikap seperti pacarku yang sungguhan. Handsfree dinyalakan dan aku mendengar semua percakapan mereka sambil menutup mulutku dengan bantal dan menangis.
“ Ehm… Halo, selamat malam. Dengan siapa saya bicara?”
“ Ya, selamat malam. Saya Jordan, pacarnya Yona. “
“ Pacarnya? Sepertinya kamu sedang bermimpi, bung! Saya ini pacarnya Yona. Siapa namamu tadi? Jordan? Oh, iya. Yona memang pernah bercerita padaku, katanya kamu itu sahabatnya. Benar begitu, ‘kan? Jangan sembarangan mengaku kalau Yona itu pacarmu. Kamu bukan siapa-siapa buatnya. “
“ Maaf. Siapapun kamu tak bisa mempengaruhiku. Aku tahu siapa Yona dan aku tahu betap[a dia takkan pernah menduakan aku. Dimana dia, aku mau bicara dengannya sekarang.”
“ Wah, kamu menantang aku, ya?! Oke, kamu memang berada jauh disana, tapi Yona ada disampingku sekarang. Lalu siapa yang keadaannya lebih baik diantara kita berdua? Tentu saja aku…!”
Saat percakapan semakin alot, ibuku yang sedari tadi memanggil-manggil kami untuk makan malam tiba-tiba mengetuk pintu dan masuk.
“ Hei, Yona, Romi, kenapa daritadi tidak turun untuk makan malam. Semua keluarga sudah menunggu. Romi, bibi sudah masak makanan kesukaanmu. Sekarang turun, ya. Pamanmu juga sudah menunggu, dia rindu berbincang denganmu setelah sekian lama kalian tidak bertemu.”
Aku terkejut, telepon itu belum dimatikan dari tadi. Pastilah sekarang Jordan tahu yang sebenarnya. Rasa malu, kecewa, sedih, dan takut berkecamuk dipikiranku. Aku dan Romi saling pandang dan bingung hendak melakukan apa. Lalu kami teringat pada telepon itu. Romi segera berbicara…
“ Ha.. Haallooo… Kamu masih disana, bung? “
Lalu dia menggeleng kearahku.
“ Halo… Halo… Haloooo…”
Dia menggeleng lagi, kali ini aku kehabisan kesabaran. Kuraih handphone itu lalu kuambil alih percakapan.
“ Halo, Jordan? Aku tahu kamu masih disana, jawab aku.”
Tak ada jawaban sampai akhirnya wangi masakan ibuku menarik Romi untk segera turun dan meninggalkan aku sendirian.
Tak sadar aku bergumam…
“ Romi, tunggu dulu…”
Romi berlalu dan yang tinggal sekarang hanyalah aku bersama handphone yang diseberang sana ada seorang pria baik-baik sedang kebingungan akan keadaan.
“ Halo, Jordan? Jawab aku.”
“….. “
“ Baiklah jika tak ada jawaban darimu, maka aku akhiri sampai disini. Aku pergi, selamat tinggal.”
Aku masih menanti jawaban dari seberang, sementara jawaban itu tak kunjung datang. Aku tak pernah benar-benar mematikan handphone-ku sementara aku tetap duduk didekatnya menunggu suara yang kuharapkan sedari tadi itu terdengar sejelas saat dia berdebat dengan sepupuku.
“……”
Lama kunantikan hingga akhirnya…
“ Hendra… Hmm… Romi, maksudku. Betapa beruntungnya kamu punya sepupu sebaik dia dan betapa beruntungnya dia punya bibi sebaik ibumu.”
“ Jadi… Kamu…???”
“ Ya. Aku mendengar semuanya, Yona. “
“ Baiklah, sekarang aku pergi. Aku tak mau lagi berurusan denganmu. Matikan saja teleponmu.”
Aku pura-pura hendak turun, kupikir dia percaya, rupanya dia tetaplah Jordan yang tahu persis dengan siapa dia bicara.
“ Yona… Yona… Yona…! Baik jika kamu ingin aku percaya kalau kamu sudah tidak disitu lagi. Tapi aku tahu kalau kami masih mendengarkan aku. Dengarkan ini baik-baik. Aku mengerti apa yang menjadi alasanmu untuk menjauh dariku. Aku tahu kalau kamu tak bisa membiarkan Ivana terus menderita karena perasannya sendiri. Ketahuilah kalau dia sudah mengatakan apa yang dirasakannya itu padaku dan aku meminta maaf karena tak bisa membalas cintanya. Aku tak mau membantah habis-habisan karena aku sendiri tak pernah tahu apa rencana Tuhan dalam hidupku. Jika aku tetap meyakini kamu sebagai pasanganku kelak, bisa saja Tuhan berkata tidak. Apa yang kamu inginkan sekarang sudah lama merajai pikiranku. Setiap detik aku selalu memikirkan bahwa cepat atau lambat kejadian malam ini pasti terjadi. Yang aku sesalkan adalah, kenapa kamu harus berusaha mendustaiku? Yona katakan padaku apa yang sebenarnya kamu inginkan untuk aku lakukan. Katakan baik-baik, lalu kita cari solusinya yang terbaik bersama-sama, tapi jangan memintaku untuk meninggalkanmu. Aku tak punya alasan apapun untuk bisa mengabulkannya. Bagaimana menurutmu jika kita berdiskusi sejenak. Bisakah? Yona? ”
Aku terdiam. Aku tahu berjam-jam pun aku tak menjawab, dia takkan pernah menutup teleponnya. Jadi setelah berpikir kira-kira 20 menit, aku menjawab tawarannya.
“ Baik, mari kita berdiskusi. Aku sudah memikirkan ini terlalu lama. Jujur, aku sudah tak lagi berharap kalau kamu akan kembali. Akupun sudah menghapus perasaanku untukmu perlahan-lahan. Kamu tahu kalau aku sudah menjadi seorang mahasiswi sekarang. Kamu pasti tahu juga kalau di kampusku banyak juga pria-pria tampan, baik, dan pitar, persis seperti criteria impianku.Beberapa orang teman-temanku memiliki karakter itu. Dan satu lagi, beberapa diantaranya juga lebih dewasa dariku. Kamu tahu sendiri kalau aku menyukai sosok yang lebih dewasa dariku, bukan?  Bagaimana jika aku tak bisa setia? Bagaimana seandainya aku jatuh hati pada salah satu diantara mereka? Apa kamu siap aku tinggalkan sepihak? Aku tak ingin menyakiti hatimu. Beberapa kali aku bekata padau untuk tidak mencintaiku dengan terlalu. Kenyatannya aku merasakan sendiri cintamu yang begitu besar dan membuatku sedih karenanya. Tadi kamu berkata padaku kalau Ivana sendiri sudah mengaku padamu. Lalu kamu mau aku berkata apa? Aku tak akan marah padamu karena itulah sebenarnya yang aku ketahui sejak dulu. Berkali-kali telah aku katakan ini padamu, tapi sepertinya kamu selalu berusaha mendustai dirimu sendiri. Tolonglah, Jordan. Aku benar-benar tak bisa terus-menerus ada pada lingkaran keadaan yang menyiksa ini. Kumohon, biarkan aku pergi.”
Tak terdengar suara apapun, aku hanya mendengar nafasnya yang tersenggal-senggal. Dari situlah aku tahu kalau dia sedang terisak. Aku tahu kalau apa yang aku katakan barusan sungguh menyakiti hatinya dan tak sebanding dengan besarnya cinta yang diberikannya selama ini padaku. Tapi, sesungguh andai saja dia tahu, akupun punya perasaan yang sangat identik dengannya. Tapi aku hanya ingin hidup tenang. Tak ada cara lain yang bisa aku lakukan selain yang ini. Ini pilihan tersulit yang pernah aku pilih tapi ini harus. Aku menyesal telah menyakitinya sekarang dan aku akan lebih menyesal apabila menyakitinya nanti.
“ Aku akan lakukan apa yang kamu inginkan. Jika kamu ingin pergi meninggalkanku, maka pergilah. Tapi satu hal aku ingin kamu ingat, aku akan tetap menganggapmu sebagai Yona-ku. Bagiku kita masih bersama dan jangan paksa aku untuk mengikuti seluruhnya maumu. Aku berhak untuk memutuskan apa yang ingin aku lakukan. Aku masih ingat ketika kamu memintaku untuk berjanji jika suatu saat aku menemukan gadis yang lebih baik darimu, maka aku harus mengaku padamu. Aku juga masih mengingat dengan sangat jelas bahwa kamu pun akan melakukan hal yang sama jika itu terjadi padamu. Dan aku anggap saat ini itulah yang sedang kamu rasakan. Aku akan mencoba meyakini bahwa kamu sudah menemukan dia yang lebih baik dariku. Selamat malam, Yona. Aku akan berusaha melupakanmu meski aku tahu sangat sulit untuk melakukannya. Maafkan aku sudah mengusik kehidupanmu dan membuatmu dikelilingi oleh masalah terutama antara kamu dan Vana. Pergilah, dan jangan lupa kembali apabila suatu saat kamu menyadari bahwa tak ada yang lebih baik selain aku. Selamat malam, aku pamit.”
Terdengar sambungan terputus. Aku hanya bisa tersandar di tembok sambil merenung tentang apa yang baru saja terjadi. Aku tahu betul kalau aku tak sedang bermimpi di tengah malam. Aku tak lagi merasa sedih tapi termenung dengan pikiran yang kosong. Aku yakin kalau saja saat itu kakakku tak datang untuk memanggilku, maka aku pasti mengalami pertama kali seumur hidup apa yang disebut orang sebagai kesambet.
Aku dan kakakku langsung menuju meja makan. Aku sadar kalau sedari tadi akulah yang ditunggu-tunggu oleh keluargaku. Tampak ibuku sudah menatap dengan tajam, pertanda beliau sudah kesal karena sedari tadi aku dipanggil dan aku tak menjawab, apalagi turun. Aku menunduk dan mulai makan. Tak heran aku makan sendirian, karena sedari tadi mereka sudah makan mendahului aku. Aku maklum dan meneruskan makan malamku sendirian ditemani Romi sepupuku. Kami saling bertatap dan aku yakin dia bisa melihat kegalauan dimataku. Aku merasakan simpatinya saat itu juga. Ada rasa bersalah terpancar dimatanya.Aku tahu, dia pasti merasa bersalah karena tak bisa mempertahankan argumennya pada Jordan terkait kejadian tadi. Dia berpindah tempat dan duduk disampingku sepertinya dia paham apa yang aku rasakan. Aku tak tahan lagi lalu meletakkan sendok dan garpu ditanganku. Lantas aku menghabur memeluknya, aku tak sanggup lagi menahan kesalahan yang aku buat sendiri. Dia sungguh mengerti tanpa perlu aku ceritakan lagi dari awal. Romi hanya berkata, “ Dia akan kembali nanti jika saja kalian memang ditakdirkan untuk bertemu kembali. Saat itu pasti tanpa sahabatmu yang satu itu. Eee... Siapa namanya?”
“ Ivana, kak. Ivana Youvelina.”
“ Hmm... Iya... Iya... Tanpa Ivana tentunya. Kamu harus optimis kalau hidupmuakan baik-baik saja tanpa dia. Mungkin juga bisa lebih baik lagi, karena kamu bisa lebih fokus untuk meraih cita-citamu dan cintamu tentu saja. Sudah, ya. Jangan menangis lagi. Habiskan makan malammu, kami tunggu di ruang keluarga. Nanti kita main uno bersama, oke?!”
“ Iya, kak. Aku segera menyusul.”
Romi beranjak menuju ruang keluarga dan aku mulai melahap makanan yang ada dihadapanku sendirian. Tak terelakkan aku terus melamun, tapi makananku habis juga akhirnya. Aku tersadar karena mendengar suara kakakku memanggil. Segera aku membereskan meja makan dan mencuci semua piring kotor, lalu berlari kecil menuju ruang keluarga untuk main uno bersama kakak dan sepupuku.
Tak terasa, ternyata bermain uno sungguh menggembirakan. Tak sadar ternyata sedari tadi aku bisa tertawa bebas dan tak tersirat sedikit pun beban dalam driku. Aku memang benar-benar lupa akan semua masalahku. Karena kenyatannya memang sudah aku akhiri. kali ini benar-benar aku rasakan kelegaan yang sangat sampai tak terasa tamu-tamu kami harus pulang. Sepupuku pamit dan membisikkan padaku kalau aku harus tetap bersemangat dan ingat pesannya di meja makan tadi. Dia menawarkan juga apabila aku butuh teman curhat, maka aku bisa menemuinya atau cukup mengiriminya pesan singkat dan dia pasti membantuku menyelesaikan masalahku.
Aku tersenyum padanya pertanda hatiku sudah ikhlas sekarang. Mobil mereka sudah tak terlihat lagi dan aku berlari menuju kamarku. Aku melemparkan tubuhku ke ranjang dan langsung tertidur pulas hingga aku lupa mematikan lampu kamarku. Aku tidur tanpa mimpi. Semalaman aku merasakan dunia lebih ramah padaku. Semilir angin menembus celah-celah jendela kamarku, sejuk sekali. Aku terbangun, ternyata aku lupa berdoa. Lalu aku bangkit dan terduduk sejenak diatas ranjang. Pukul 1 dinihari, aku kemudian mematikan lampu kamarku, mengambil sikap berdoa, terdiam dalam renungan. Aku sadar kalau kehidupan tak selalu ramah untuk kita para makhluk ciptaan Tuhan. Kehidupan tak selalu mengikuti apa yang kita mau. Tapi satu hal yang pasti adalah takdir selalu berpihak pada mereka yang yakin, percaya, dan tak pernah berhenti berusaha untuk meyakinkan takdir bahwa ia harus berpihak pada kita karena kita layak.
Selesai aku berdoa, kemudian aku menemukan makna dari apa yang sudah terjadi selama ini padaku. Aku sungguh bahagia bisa menyadari dan menemukan hikmah dari semuanya ini. Ya. Karena semua orang pasti menemukan cinta sejatinya. Aku pikir akupun pasti demikian. Aku tak pernah menyangka akan terjadi demikian, pertemuan dan perpisahan. Setiap pertemuan pasti ada perpisahan meskipun aku selalu berusaha agar cintaku tak pernah pergi meninggalkanku. Namun terkadang Tuhan menginginkan kita berlatih untuk melepaskan orang-orang yang sangat kita cintai untuk saat ini agar ketika saatnya tiba, kita takkan terluka terlalu dalam saat belahan jiwa kita pergi jauh untuk selamanya.
Inilah yang menguatkan aku hingga seiring berjalannya waktu aku merasa menemukan cinta sejatiku. Aku merasakan dia ada didekatku, dekat sekali. Meskipun hingga saat ini aku masih sendiri dan memang sedang tak ada siapapun mengisi hatiku. Aku yakin dia akan hadir untukku saat Tuhan ijinkan dia menyapaku dengan lembut...
” Yoana, aku disini...”
                Belakangan aku mendapat kabar bahwa Ivana berhasil lulus di universita impiannya di Bandung. Menskipun jurusan yang ia pilih jauh sekali dari apa yang selama ini dicita-citakannya.  Tapi itulah yang dinamakan kehidupan, takkan ada seorangpun yang tahu kemana dia akan pergi dan kapan saatnya. Aku yakin baik aku maupun Vana pasti bisa meraih pencapaian yang terbaik dalam kehidupan kami masing-masing meskipun sampai sekarang kami masih putus kontak, tapi aku tak pernah putus mendioakan dia, mantan sahabatku yang akan tetap jadi sahabat bagiku...




Tidak ada komentar:

Posting Komentar